menghadapi kesalahan vs membelakangi kebenaran
Kredo “berani karena benar” mempunyai padanan yang dinamis. Tanpa kecuali “berani akibat pengaruh miras”. Berlaku bukan hanya pada oknum penenggak, peneguk miras atau minol. Disandang resmi oleh Pejabat Pemerintahan mulai petugas partai, jelas-jelas daripada impor miras. Lebih untung dirikan pabrik miras skala global.
“Kesalahan” yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan atau sebutan lin semaksud. Apakah itu berupa keputusan dan atau tindakan diskresi; efek perintah atasan atau jabatan (Ambtelijk Bevel); karena tuntutan pekerjaan dan panggilan tugas; dsb. Singkat padat kebijakan politik termasuk bebas pidana.
Pihak yang diharapkan mengawal jalannya demokrasi, agar demokrasi berjalan dengan bebas cegatn dan damai di tempat, malah menjadi biang onar, biak kerok. Akibat dekat-dekat dengan meja penguasa. Wajar, karena jabatan di dapat secara politis. Berkat masuk perhitungan atau kalkulasi politik penguasa. Atau mereka yang mendapat berkah karena rajin bertandang di balik pintu penguasa. Yang merupakan sumber dari segala sumber.
Malunya anak bangsa bangsa nusantara berketurunan untuk berkata benar plus bertindak baik. Jangan sampai karena istana adalah simbol kekuasaan penguasa yang diperoleh secara konstitusional, demokratis. Baik-buruk, benar-keliru, bagus-jelek, betul-salah ditentukan suara mayoritas.
Niatan jujur dalam hati saja, dibatin, tidak perlu dilafalkan. Walau dilakukan secara pribadi sesuai HAM, masih banyak kendala-kendali. Takut kehilangan sumber mata penghasilan, ditinggal relasi bahkan dianggap punya maksud berlapis, berbingkai, terselubung dalam lipatan, iakatn semu. Apalagi kalau dinyatakan liwat tutur lisan secara jujur. Langsung mendapat stigma minimal melawan arus kuasa negara.
Karena pertanggungjawaban bukan pada pelaku saja. Pasal pembiaran, pengabaian, pelalaian, pura-pura tak tahu, tidak mau tahu. Asal bukan cari aman sampai malah ke tabiat cari muka. Paribasan Jawa, begini tulisannya : si gèdhèg lan si anthuk. Maksudnya adalah, wong loro kang wis padha kangsèn tumindak ala bebarengan; wong-wong sing padha sekongkol.
Jadi, lema ‘alib politiki’ secara istilah redaksional, substansial hukum serta dalil berbangsa dan bernegara, bebas pakai ketimbang dalil formal. Maka, substansi pendidikan politik maupun metodologi alih paham atau indoktrinasi, mengingat bahwa berpolitik hanyalah sebuah alat, substansinya adalah tujuan. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar