gelar kehormatan nusantara, pancasilais dan atau negarawan
Tak ada gelar akademis, gelar kehormatanpun jadi. Makna gelar kehormatan, resmi dari pemerintah maupun penghormatan dari pihak, menjadi bias politis. Pesohor, pegiat panggung guna bangun citra menggunakan nama komersial. Jaga martabat kedirian agar tetap laris, eksis, mudah dapat job.
Padahal pendidikan polilitik, pengalaman politik, melek politik, paham politik, jam terbang sebagai kawanan aktif atau kader parpol, trah anak cucu ideologis sampai hingar-bingar bak petugas partai, BJ Habibie jelas tidak memenuhi syarat. Nasib diri hingga sampai menjadi pembantu presiden, wakil presiden dan presiden, berkat “buta politik”. Bisa dikata otak politiknya tidak jalan. Akal, nalar, logika politiknya bisa-bisa bisa tidak sebrilian, tak sejenius dirinya sebagai ahli pesawat terbang kelas dunia.
Sertifikat pancasilais dan atau negarawan, menjadi syarat administrasi untuk mendapat job. Ada honornya jika ybs dipekerjakan di lembaga negara setingkat pembantu kepala negara.
Gemar disanjung, suka dijunjung, hobi dipuja-puji. Terlena dengan rayuan penjajah lewat dendang lagu ninabobo. Diberi upeti roti, keju, rokok putih sudah merasa lebih barat ketimbang si penjajah, Belanda. Diberi nikmat dunia, serta merta akan loyal, patuh, taat, setia dan siap berjibaku menjaga wibawa dan nama baik sang majikan.
Kata rakyat bisa mewakili kenyataan. Bukan sekedar pro dan kontra. Akumulasi derita batin dan tekanan batin menjadikan suara rakyat adalah gambaran yang akan datang. Mereka hanya mengambil selembar fakta di masa depan. Agar manusia dan atau orang sekarang, lebih sadar diri, paham diri, kian tahu diri dan insyaf. Jangan membiakkan kambing hitam berkalung kulit pisang. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar