wirangé kaya kethèk
ketulup
Lincah aksi kethèk dan sebangsanya,
memang memukau. Dilatih menjadi binang tamu acara, atraksi, adegan Jédék kethèk.
Kalau kethèk bisa ngomong, pasti rapat dengar pendapat wakil rakyat dengan
mitra kerja, menjadi tontonan spektakuler. Borju kata tukang bakso.
Gaya kethèk muncul di panggung
syawat politik nusantara. Merasa secara periwayatan, bahwa mbahé kethèk ada yang
tersohor di negaranya. Julukan heroik, nasionalisme adalah si Kera Putih. Adab tutur
tinular, mkasudnya bahasa mulut ke mulut. Ramayana nusantara menyatukan,
memadupadankan tokoh Dasamuka dengan lawan politiknya.
Babak demi babak diselesaikan tanpa
babak akhir. Yang penting tahu sama tahu. Namanya wayang nusantara. Tidak ada
pengarusutamaan gender. Antara kaum Hawa dengan kaum Adam, hak sama sebangun. Dikarenakan
barisan kawanan politisi sipil kutrang tangguh mengurus luasnya nusantara
ditambah populasi penduduk pribumi.
Mantan angkatan ditampung. Fraksi tentara
zaman Orde Baru. Pengayom masyarakat menjadi jaga juragan, bela majikan, kawal
nusa. Sigap pasang badan hadapi kenyataan dan realita hidup.
Tata niaga politik lokal sudah
mempunyai SOP. Bak perang tanding. Seperti siapa yang maju laga menghadapi
Rahwana. Beda dengan olahraga, permainan catur. Ada persamaan, jika raja tewas
seketika maka bioskop bubar.
Cita-cita sederhana jago perang,
maunya gugur di palagan. Bukan di rumah sakit. Apalagi cuma terserang penyakit
rakyat: mencret, gatal-gatal, salah makan, kudisan, panu rata. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar