Halaman

Senin, 14 Oktober 2019

wirangé kaya kethèk ketulup


wirangé kaya kethèk ketulup

Lincah aksi kethèk dan sebangsanya, memang memukau. Dilatih menjadi binang tamu acara, atraksi, adegan Jédék kethèk. Kalau kethèk bisa ngomong, pasti rapat dengar pendapat wakil rakyat dengan mitra kerja, menjadi tontonan spektakuler. Borju kata tukang bakso.

Gaya kethèk muncul di panggung syawat politik nusantara. Merasa secara periwayatan, bahwa mbahé kethèk ada yang tersohor di negaranya. Julukan heroik, nasionalisme adalah si Kera Putih. Adab tutur tinular, mkasudnya bahasa mulut ke mulut. Ramayana nusantara menyatukan, memadupadankan tokoh Dasamuka dengan lawan politiknya.

Babak demi babak diselesaikan tanpa babak akhir. Yang penting tahu sama tahu. Namanya wayang nusantara. Tidak ada pengarusutamaan gender. Antara kaum Hawa dengan kaum Adam, hak sama sebangun. Dikarenakan barisan kawanan politisi sipil kutrang tangguh mengurus luasnya nusantara ditambah populasi penduduk pribumi.

Mantan angkatan ditampung. Fraksi tentara zaman Orde Baru. Pengayom masyarakat menjadi jaga juragan, bela majikan, kawal nusa. Sigap pasang badan hadapi kenyataan dan realita hidup.

Tata niaga politik lokal sudah mempunyai SOP. Bak perang tanding. Seperti siapa yang maju laga menghadapi Rahwana. Beda dengan olahraga, permainan catur. Ada persamaan, jika raja tewas seketika maka bioskop bubar.

Cita-cita sederhana jago perang, maunya gugur di palagan. Bukan di rumah sakit. Apalagi cuma terserang penyakit rakyat: mencret, gatal-gatal, salah makan, kudisan, panu rata. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar