Literasi dan Daya Rusak Diri
Kawanan Pribumi Nusantara
Rasa ingin tahu manusia pada`dasarnya tak mau didahului.
Tak mau tahu bahwa orang lain sudah
tahu dahuluan, terlebih dahulu. Akhirnya, tanpa sadar masuk kuadran “aku tidak tahu – bahwa aku tidak tahu”. Walhasil, masukan satu kata sebuta, bulat saja,
predikat langsung ditelan utuh. Tanpa mikir apalagi proses kata hati. Dipakai sebagai
modal “komunikasi” atau berbahasa dengan benar, baik, bagus.
Bukti sederhana muncul generasi peolok-olok politik. Merasa bisa
berkontribusi, punya andil berbakti kepada penguasa dalam menghadapai lawan politik.
Kemajuan produk TIK tanpa batas waktu dan jarak. Menjadikan kawanan pribumi
dimaksud, pakai asas serbatéga, gunakan dalil anékatéga. Merasa gagah,
nasionalisme tulen, heroik kalau sudah bisa mencaci-maki.
Tak pantas menyebutkan, walau untuk contoh, sebutan apa saja yang menjadi
produk resmi pendengung, pengigau. Ironis binti miris, mereka yang terpelajar,
tanpa risi ikut aktif sebagai mediator, sebagai katalisator. Semakin tinggi
rekam jejak akademisnya, menunjukkan spontanitas, agresivitas yang
ujung-ujungnya menjadi daya rusak diri.
Sebut saja pihak yang satu almamater
dengan penguasa. Sebegitunya, padahal. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar