Halaman

Rabu, 09 Oktober 2019

Berpikir Tanpa Akal


Berpikir Tanpa Akal

Manusia dan atau orang adalah makhluk tertinggi, teratas di antara makhluk lainnya ciptaan Allah swt. Perbedaan tersebut karena manusia dikarunia Allah swt berupa seperangkat alat kelengkapan akal yang bersumber pada otak.

Berkat bantuan pancaindra, maka potensi otak dapat didayagunakan secara optimal. Survei membuktikan, ternyata persentase penggunaan akal oleh manusia hanya ringan, kecil. Ada yang sebut masih di bawah sepertiga. Tapi digunakan untuk memikirkan yang besar-besar. Jauh di atas jangkauan potensi diri.

Pasal yang menyebutkan tak masuk akal, tak bisa ditampung akal sehat, akal-akalan. Apa beda dengan pasal ‘tanpa akal’. Tentu, kalau berpikir adalah proses berbasis potensi otak. Bisa terjadi atau apakah cara berpikir, pola tindak, gaya ucap sebagai refleksi daya otak.

Pertama, makna ‘tanpa akal’ bisa muncul jika dikaitkan dengan perihal yang dipikirkan. Subyek pikiran. Apakah terbanyak ada di luar diri. Tidak menyangkut ikhwal diri pribadi. Gampangnya, mikirkan yang tidak-tidak. Yang tak perlu dipikirkan. Tepatnya, tanpa kontribusi, tanpa bantuan pemikiran Anda, semua kejadian akan tetap terjadi.

Selingan pemanasan daya ingat. Bahwasanya bahasa Indonesia memiliki kekayaan kosakata, bank-kata, khazanah kata yang lebih dari cukup sebagai sarana pikir, ekspresi, dan komunikasi di berbagai bidang dan aspek kehidupan.

Kedua dan juga yang terakhir, makna ‘tanpa akal’ dikarenakan si pengguna akal tanpa sadar terbiasa melupakan jasa ‘kata hati’. Menu harian dengan rutinitas, tipikal kesibukkan, menentukan jalannya pikiran. Laju peradaban membuat kemudahan manusia untuk berpikir. Aspek profesionalitas semisal curah pendapat, sesuai laju adab maka manusia  berpikir curah. Pokoknya ada produk pikir yang seolah hasil kerja, kinerja, kontribusi otak.

Padahal. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar