Berpikir Tanpa Akal
Manusia dan atau orang adalah makhluk tertinggi, teratas
di antara makhluk lainnya ciptaan Allah swt. Perbedaan tersebut karena manusia
dikarunia Allah swt berupa seperangkat alat kelengkapan akal yang bersumber
pada otak.
Berkat bantuan pancaindra, maka potensi otak dapat
didayagunakan secara optimal. Survei membuktikan, ternyata persentase penggunaan
akal oleh manusia hanya ringan, kecil. Ada yang sebut masih di bawah sepertiga.
Tapi digunakan untuk memikirkan yang besar-besar. Jauh di atas jangkauan
potensi diri.
Pasal yang menyebutkan tak masuk akal, tak bisa ditampung
akal sehat, akal-akalan. Apa beda dengan pasal ‘tanpa akal’. Tentu, kalau
berpikir adalah proses berbasis potensi otak. Bisa terjadi atau apakah cara
berpikir, pola tindak, gaya ucap sebagai refleksi daya otak.
Pertama, makna ‘tanpa akal’ bisa muncul jika dikaitkan
dengan perihal yang dipikirkan. Subyek pikiran. Apakah terbanyak ada di luar
diri. Tidak menyangkut ikhwal diri pribadi. Gampangnya, mikirkan yang
tidak-tidak. Yang tak perlu dipikirkan. Tepatnya, tanpa kontribusi, tanpa
bantuan pemikiran Anda, semua kejadian akan tetap terjadi.
Selingan pemanasan daya ingat. Bahwasanya bahasa
Indonesia memiliki kekayaan kosakata, bank-kata, khazanah kata yang lebih dari
cukup sebagai sarana pikir, ekspresi, dan komunikasi di berbagai bidang dan
aspek kehidupan.
Kedua dan juga yang terakhir, makna ‘tanpa akal’
dikarenakan si pengguna akal tanpa sadar terbiasa melupakan jasa ‘kata hati’. Menu
harian dengan rutinitas, tipikal kesibukkan, menentukan jalannya pikiran. Laju peradaban
membuat kemudahan manusia untuk berpikir. Aspek profesionalitas semisal curah
pendapat, sesuai laju adab maka manusia berpikir
curah. Pokoknya ada produk pikir yang seolah hasil kerja, kinerja, kontribusi
otak.
Padahal. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar