dikotomi mental wawasan
nusantara, pura-pura bodoh vs sok pintar
Bicara perbandingan antara panggung politik dengan lakon
sinetron. Sekaligus bahas persamaan seimbang dengan perbedaan. Bukan itu. Maksudnya
antara persamaan dengan perbedaan. Sama saja. Tak ada bedanya. Namanya juga.
Sama-sama surplus, sarat, kelebihan pemain. Pemain gaek,
demi rasa hormat dipaksakan main. Peran apa saja. Bisa asal numpang liwat. Yang
seharusnya bertugas menjadi “pemain bertahan” – memang bal-balan – didapuk menjadi
pemain semi-utama. Daripada ngrecoki.
Justru daripada demikian. Lain pasal. Penjaga lalu lintas
peradaban. Sudah tahu nikmat dunia. Tahu arti kursi negara yang dikiras bagian
sentral alat negara. Tidak sekedar jadi figuran. Khususnya mendukung tema
kolosal. Atau adegan ulang, rekonstruksi, sigap bending gelombang aksi masa
yang turun ke jalan.
Bukan sekedar tema bebas. Bebas dari tema apapun. Pokoknya
kebagian peran. Terbalik. Potensi mereka malah bisa menjadi sutradara, dalang, aktor,
biang kerusuhan terselubung. Tak perlu pakai kendaraan politik ala penguasa
tunggal Orde Baru. Tak perlu dukungan partai politik bentukan khusus, bak gaya
SBY. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar