Halaman

Kamis, 24 Oktober 2019

dikotomi mental wawasan nusantara, pura-pura bodoh vs sok pintar


dikotomi mental wawasan nusantara, pura-pura bodoh vs sok pintar

Bicara perbandingan antara panggung politik dengan lakon sinetron. Sekaligus bahas persamaan seimbang dengan perbedaan. Bukan itu. Maksudnya antara persamaan dengan perbedaan. Sama saja. Tak ada bedanya. Namanya juga.

Sama-sama surplus, sarat, kelebihan pemain. Pemain gaek, demi rasa hormat dipaksakan main. Peran apa saja. Bisa asal numpang liwat. Yang seharusnya bertugas menjadi “pemain bertahan” – memang bal-balan – didapuk menjadi pemain semi-utama. Daripada ngrecoki.

Justru daripada demikian. Lain pasal. Penjaga lalu lintas peradaban. Sudah tahu nikmat dunia. Tahu arti kursi negara yang dikiras bagian sentral alat negara. Tidak sekedar jadi figuran. Khususnya mendukung tema kolosal. Atau adegan ulang, rekonstruksi, sigap bending gelombang aksi masa yang turun ke jalan.

Bukan sekedar tema bebas. Bebas dari tema apapun. Pokoknya kebagian peran. Terbalik. Potensi mereka malah bisa menjadi sutradara, dalang, aktor, biang kerusuhan terselubung. Tak perlu pakai kendaraan politik ala penguasa tunggal Orde Baru. Tak perlu dukungan partai politik bentukan khusus, bak gaya SBY. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar