Ketika Oposisi Punya Opsi dan Posisi Tawar
Jika anak bangsa pribumi nusantara mendayagunakan akal
sehat saat main politik. Persatuan Indonesia menjadi platform bentuk parpol. Daya
sinerji antar parpol mewujudkan cita-cita bangsa bukan sekedar di atas kertas.
Tiap lima tahun sekali ganti kendaraan politik, ganti
sopir. Semangkin runyam, parpol dadakan bisa ikut pemilu. Tanpa rekam jejak
langsung bertengger di klasemen utama. Masuk divisi papan atas. Apa jadinya
atau demikianlah jadinya nusantara ini.
Tiap pemerintahan, tiap presiden menghadirkan varian
anyar penyakit politik. Yuridi formak diakui bahwasanya sumber utama konflik
sosial adalah politik. Gaduh politik kian masif, fokus, terukur.
Modus menjaga wibawa kepresidenan, menjamurnya konflik vertikal
akibat beda pilihan. Memunculkan dikotomi supremasi sipil vs dominasi militer. Media
massa menjadi katalisator anti-persatuan Indonesia. Peolok-olok politik
dipelihara oleh penguasa.
Laga babak kedua belum mulai. Pihak tertentu sudah tak
peduli dengan skor atau hasil akhir. Lebih fokus ke laga berikutnya. Akan diikuti
pemain baru. kalkulasi politik menjadi liar, tidak ada patokan normatif. Pengatur
skor sudah sigap.
Koalisi pemerintah sudah selesai dengan tugas utama. Sesuai
asas pemilu ‘luber’ dan jujur, presiden ketujuh RI lanjut ke periode kedua,
2019-2024. Tantangan 2024 adalah capres. Semua pihak harus pandai-pandai
mencari mitra kerja.
Koalisi transaksional, politik dagang sapi, lelang
jabatan, dalil tawar-menawar akan mewarnai politik nusantara. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar