Halaman

Jumat, 25 Oktober 2019

tak ada yang lebih nista ketimbang peolok-olok politik


tak ada yang lebih nista ketimbang peolok-olok politik

Pemanfaatan waktu dengan aneka sibuk paralel dan atau tahapan sibuk secara ketat. Waktu tetap melaju sambil mengurangi sisa umur manusia tanpa kompromi. Tak kenal tempat. Antar manusia, beda sidik jari, kemungkinan ajal pun beda atau bisa secara bersamaan.

Begitulah kejadian di tahun politik 2018 dan 2019. Anak bangsa pribumi nusantara bak mendapat durian runtuh. Serentak, secara bersamaan menjadikan dirinya secara sadar, yakin masuk kategori peolok-olok politik. Ini yang klas manusia buangan.

Mereka yang masuk klas bayangan. Didapuk jadi ahli komen, cuap, ucap, ujar, lisan tentang aksi, gaya, modus manusia politik. Tampak bahasa hafalan. Kendati produk TIK mampu membuat pengguna merasa tembus waktu dan tanpa jarak.

Juru analis kejadian perkara politik. Sekedar modal netra. Bukan mata batin. Asal hafal istilah khusus perpolitikkan, merasa cerdas berkomen. Ditambah gaya bahasa tampang bebal atau sok tahu. Lawan bicara, semacam wakil rakyat yang baru kenal peradaban. Kian seru.

Ironis binti miris. Seorang oknum peolok-olok politik, sehari mampu memproduk, menyalurkan, menggandakan. Tergantung media yang dikenalinya. Pihak lain, kawanan pendengung dikelola oleh penguasa dan begundalnya. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar