gaya bahasa generasi
"Bagus. 100"
Berbahasa – tulis tangan, ketik maupun
lisan, ucap, ujar – dengan benar, baik, bagus. Masih menjadi momok sistem
pendidikan nasional. Tak salah peribahasa leluhur, pepatah turun-temurun “bahasa menunjukkan isi perut”. Semakin
berakal, berotak, berhati abak bangsa pribumi nusantara akan berbanding
terbalik dengan bunyi mulut. Juga tidak.
Agar stabilitas jiwa-raga terjaga
secara seksama. Kita membutuhkan lebih dari empat puluh macam bahan gizi,
nutrisi yang digali dari enam komponen makanan: air, karbohidrat,
lemak,protesin, mineral dan vitamin.
Babad perjanjian Giyanti pada tahun 1755
antara Belanda dengan Mataram. Pemecahan menjadi dua kerajaan: Surakarta dan Yogyakarta.
Efek lain, kedua raja tersebut harus menyerahkan kedaulatan perdagangan laut
hasil bumi dan rempah-rempah kepada Belanda. Sejak itu, terjadi penurunan, pergeseran semangat dan jiwa bahari, orang pelaut, kemaritiman bangsa Indonesia. Akhirnya menuju
dan negara agraris.
Budaya bahari Indonesia tidak boleh terkikis.
Indonesia terus bertransformasi,
melestarikan kesadaran dan kedaulatan
bangsa tentang konstelasi geografis Indonesia sebagai Negara Kepulauan (Archipelagic State). Berupa
gugusan pulau yang dikelilingi samudera, laut, selat dan teluk.
Generasi masa depan nusantara. Mengadakan
perjanjian penggunaan produk berbasis TIK. Berlayar di dunia maya, tanpa batas
waktu dan bebas jarak tempat. Idealisme mereka sederhana dan bersahaja. Penguasaan
bahasa menjadi tak penting. Pokoknya asal berani berbahasa dengan aneka gaya
sudah jauh dari cukup.
Dukungan penguasa yang melahirkan
penebar dan penabur berita fungsi benci. Akhirnya banyak ahli bercocok kata. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar