Halaman

Sabtu, 19 Oktober 2019

gaya bahasa generasi "Bagus. 100"


gaya bahasa generasi "Bagus. 100"

Berbahasa – tulis tangan, ketik maupun lisan, ucap, ujar – dengan benar, baik, bagus. Masih menjadi momok sistem pendidikan nasional. Tak salah peribahasa leluhur, pepatah turun-temurun “bahasa menunjukkan isi perut”. Semakin berakal, berotak, berhati abak bangsa pribumi nusantara akan berbanding terbalik dengan bunyi mulut. Juga tidak.

Agar stabilitas jiwa-raga terjaga secara seksama. Kita membutuhkan lebih dari empat puluh macam bahan gizi, nutrisi yang digali dari enam komponen makanan: air, karbohidrat, lemak,protesin, mineral dan vitamin.

Babad perjanjian Giyanti pada tahun 1755 antara Belanda dengan Mataram. Pemecahan  menjadi dua kerajaan: Surakarta dan Yogyakarta. Efek lain, kedua raja tersebut harus menyerahkan kedaulatan perdagangan laut hasil bumi dan rempah-rempah kepada Belanda.  Sejak itu, terjadi penurunan, pergeseran  semangat dan jiwa bahari, orang pelaut,  kemaritiman bangsa Indonesia. Akhirnya menuju dan negara agraris.

Budaya bahari Indonesia tidak boleh terkikis.  Indonesia terus bertransformasi, melestarikan  kesadaran dan kedaulatan bangsa tentang konstelasi geografis Indonesia sebagai Negara Kepulauan (Archipelagic State). Berupa gugusan pulau yang dikelilingi samudera, laut, selat dan teluk.

Generasi masa depan nusantara. Mengadakan perjanjian penggunaan produk berbasis TIK. Berlayar di dunia maya, tanpa batas waktu dan bebas jarak tempat. Idealisme mereka sederhana dan bersahaja. Penguasaan bahasa menjadi tak penting. Pokoknya asal berani berbahasa dengan aneka gaya sudah jauh dari cukup.

Dukungan penguasa yang melahirkan penebar dan penabur berita fungsi benci. Akhirnya banyak ahli bercocok kata.  [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar