lauk sebutir jagung,
nasi sesuap
4 sehat, 5 sempurna plus jajan mengikuti irama
keroncongan perut. Tanpa pariwara, makanan-minuman berklas, penambah gengsi
akan laris manis. Bersifat musiman. Kiat strategis pebisnis. Utamakan merk
ketimbang kandungan gizi.
Apalagi selagi manusia politik haus kuasa. Ujaran lisan
bebas apa pun, terasa nikmat di cangkem sendiri. Untuk menjaga wibawa urusan
keluarga. Sumber energi tersembunyi dimana pun akan diburu, diuber.
Telur ayam tetap telur ayam. Olahan rakyat dengan cara
direbus. Sentuhan seni dan kreativitas, menjadi lauk berklas. Naik pesawat atau
masuk lauk sarapan hotel berbintang. Ayam juga tahu diri. Walau tak pernah tahu
harga jual sebutir telurnya. Ayam petelur tanpa pejantan.
Alam memang tahu akan isi perut manusia. Pemakan segala. Mentah
atau diolah secara bermartabat. Variétas unggul padi, malah ketika jadi nasi
membuat sakit perut. Maklum usus lokal. Muncul pola hibrida, varian baru.
Pemirsa
yang budiman.
PSK atau Pedagang Sayur Keliling, punya dan jual jagung
muda. Kurang muda, masih ada ‘bayi jagung’. Mau beras jagung atau pakan burung.
Jagung pipil aneka ukuran dan nilai kekerasan. Coba ingat betapa bergedel
jagung, peyek jagung, jagung bakar, brondong, grontol, tepung jagung.
Nasib baik dialami tepung jagung. Berkolaborasi menjadi bahan
baku.
Jagung pipil plus kacang merah, plus butiran lain, dengan
bumbu khusus. Bukan sebagai lauk. Sajian khusus. Pakai nama asing, agar tampak
mentereng.
Akhirnya, butiran jagung segede gigi manusia. Di tangan
ahlinya, menjadi penyebab utama goyangan lidah. Jagung menyerap rasa bumbu. Waktu
dikunyah dengan santai, terasa rasa bumbu dapur berbagai jenis.
Tak dinyana, jagung bisa memanjakan lidah manusia. Makanya,
mulut manusia tampak kokoh. Karena pemakan biji-bijian. Maksudnya, biji
betulan, beneran. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar