Halaman

Jumat, 25 Oktober 2019

lauk sebutir jagung, nasi sesuap


lauk sebutir jagung, nasi sesuap

4 sehat, 5 sempurna plus jajan mengikuti irama keroncongan perut. Tanpa pariwara, makanan-minuman berklas, penambah gengsi akan laris manis. Bersifat musiman. Kiat strategis pebisnis. Utamakan merk ketimbang kandungan gizi.

Apalagi selagi manusia politik haus kuasa. Ujaran lisan bebas apa pun, terasa nikmat di cangkem sendiri. Untuk menjaga wibawa urusan keluarga. Sumber energi tersembunyi dimana pun akan diburu, diuber.

Telur ayam tetap telur ayam. Olahan rakyat dengan cara direbus. Sentuhan seni dan kreativitas, menjadi lauk berklas. Naik pesawat atau masuk lauk sarapan hotel berbintang. Ayam juga tahu diri. Walau tak pernah tahu harga jual sebutir telurnya. Ayam petelur tanpa pejantan.

Alam memang tahu akan isi perut manusia. Pemakan segala. Mentah atau diolah secara bermartabat. Variétas unggul padi, malah ketika jadi nasi membuat sakit perut. Maklum usus lokal. Muncul pola hibrida, varian baru.

Pemirsa yang budiman.

PSK atau Pedagang Sayur Keliling, punya dan jual jagung muda. Kurang muda, masih ada ‘bayi jagung’. Mau beras jagung atau pakan burung. Jagung pipil aneka ukuran dan nilai kekerasan. Coba ingat betapa bergedel jagung, peyek jagung, jagung bakar, brondong, grontol, tepung jagung.

Nasib baik dialami tepung jagung. Berkolaborasi menjadi bahan baku.

Jagung pipil plus kacang merah, plus butiran lain, dengan bumbu khusus. Bukan sebagai lauk. Sajian khusus. Pakai nama asing, agar tampak mentereng.

Akhirnya, butiran jagung segede gigi manusia. Di tangan ahlinya, menjadi penyebab utama goyangan lidah. Jagung menyerap rasa bumbu. Waktu dikunyah dengan santai, terasa rasa bumbu dapur berbagai jenis.

Tak dinyana, jagung bisa memanjakan lidah manusia. Makanya, mulut manusia tampak kokoh. Karena pemakan biji-bijian. Maksudnya, biji betulan, beneran. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar