Dikotomi Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, Generasi Cetak Ulang vs Generasi
Tambal Sulam
Bukan pada periode, tahun kapan
dilahirkan. Berlaku umum bagi semua anak bangsa pribumi nusantara. Antara
generasi yang cepat matang sampai generasi kelamaan hidup, mengalami nasib yang
tak jauh beda. Pada soal mengaktualisasikan jati diri. Sesuai sinyal peradaban,
yang mana dimana punya mata tidak untuk memirsa. Punya kuping tidak untuk
menyimak.
Semakin banyak ikatan, kaitan malah
berbanding terbalik dengan terjalinnya rasa solidaritas, tahu sama tahu, tepo sliro. Mereka sendiri
tak tahu landasan hidupnya. Kian sarat ilmu malah kian menampakkan laku orang
tak berilmu.
Bukan banyak maunya. Sebaliknya,
amunya apa juga tak tahu. Begitu ada pihak resmi membuat pernyataan, langsung
tanpa pikir langsung menjadi penular, penyebar, penebar wabah kebencian. Sisi lain
merasa bagian penting pemerintah. Ikut andil mengaduk-aduk emosi. Modal produk
TIK, gawai tak kenal lelah.
Sudah kehendak sejarah, semangat
Sumpah Pemuda 1928, menjadikan generasi sesuai judul kehilangan lahan untuk
berbuat banyak. Tapi maunya dapat banyak. Modal peras keringat leluhur masih
mendingan. Modal abab, merasa beradab. Jurus komentar menjadi andalan mujarab
dalam berbangsa, bernegara secara total.
Selain berperan sebagai benalu, parasit,
mereka dengan segala khidmat laku tepuk dada. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar