tragedi alam nusantara: ekstrem, sporadis, radikal
Negara lenyap dari peta bumi, pernah terjadi. Bukan kejadian luar biasa. Tirani tumbang di tangan rakyat, menjadi catatan sejarah. Bukan hal yang mustahil. Masalahnya, mengapa kita tidak belajar dari sejarah. Masa lampau bukan sekedar kenangan. Walau lenyap, tetap sebagai pelajaran. Kebanyakan manusia tidak mau tahu. Dengan sadar mengulang tindakan dan kesalahan yang sama. Bayangkan kalau sebuah bangsa, dengan ratusan juta penduduknya, mau mendaur ulang tragedi dunia. Dengan bintang utama yang nyaris mirip. Skenario disesuaikan dengan tuntutan zaman dan tantangan peradaban.
Tragedi politik, koalisi parpol vs miras oplosan. Aspek politis pada kehidupan bermasyarakat, nyaris hambar. Persatuan, kesatuan, keutuhan sudah terwujud, terpateri di jiwa raga anak bangsa. Sulit diintervensi, diintimidasi oleh kepentingan politik sesat dan sesaat. Efek domino menu politik, semakin menjadikan rakyat sadar akan arti Pancasila.
Tragedi politik nusantara, regenerasi maestro nasakom vs anak cucu ideologis nasakom. Popularitas nasakom pada zamannya mampu mengalahkan fenomena nasgitel di kalangan rakyat akar rumput. Penyeruput nasgitel sebagai ritual mengawali pagi. Sebelum melakoni kehidupan rutin harian. Dilengkapi jadah plus tahu-tempe. Perut terganjal sampai siang. Atau bak burung, berangkat terang tanah pulang senja kantong berisi.
Ékstrémis skenario vs radikal bebas. Jelas bukan istilah milik disiplin ilmu, spesialis, keahlian. Juga bukan sebagai mata ajar, mata akademik didaktik. Malah di lapangan menjadi status kemahiran di atas pemancing di air keruh. Kemampuan memperkeruh suasana, membuat air keruh. Sigap dengan jasa kuras dan sedot.
Méntal radikal kawanan penguasa, khafilah tak berlalu tetap menggonggong. Indonesia suka sama suka, hasil tetap jeblok. Skenario paling jempolan dan sudah teruji, tak mampu menembus batas waktu. Digenjot tenaga dalam maupun tenaga luar, memang sebegitunya. Ramuan ajaib disangsikan menjadi alat buka aib. Faktor sumber daya bawaan (endowment) yang dimililki tiap manusia Indonesia tak seimbang dengan program/kegiatan pembangunan manusia. Kendati alokasi anggaran untuk kesehatan, pendidikan, dan perlindungan sosial terus digenjot, anak bangsa pribumi totok tetap tak bergeming dari posisinya.
Radikal bebas skenario vs ujaran bebas mulut/tangan tak bertuan. Radikal bebas – apapun términologinya – secara awam sampai kata ahlinya, merupakan salah banyak faktor penyebab, cikal bakal timbul plus mewabahnya penyakit politik. Skala ringan yang berdampak pada diri ybs sampai skala nasional yang berdampak pada moral bangsa. Padahal, skala moral terbawah muncul peolok-olok politik. Yang ini juga sebagai pemacu dan pemicu pola ‘libas lawan politik’, jangan diberi ampun. Pahlawan politik kesiangan, kepagian. Modus penguasa bak gayung bersambut. Muncul aneka ujaran lisan langsung cangkem atau ujaran tertulis liwat jasa ujung jari tangan. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar