sentimen supremasi wong cilik
Kilas balik stigmaisasi rakyat, dalam batasan jauh fakta dari penyelenggara negara, termasuk kepala desa pilihan penduduk. Latar sosial sampai subvarian, subversi yang tidak bisa terurai lagi. lebih daripada itu, stratifikasi warga negara dan penduduk hanya ada dan berlaku di nusantara. Tak perlu heran bin gumun, kawanan penyelenggara negara efek daripada pesta demokrasi, menjadi tenaga kontrak politik.
Strata kepala negara sekedar petugas partai. Pemangku kepentingan politik tetap berkiblat ke kebijakan partai politik. Frasa “kedaulatan berada di tangan rakyat” terasa selaku pemanis hukum sampai tingkatan puncak yaitu UUD NRI 1945. Saking banyaknya teori, kata ahlinya, pendekatan atau rujukan yang dipakai. Akhirnya malah tidak kesampaian. Demokrasi perwakilan vs demokrasi tanpa perantara adu nyali dengan daya juang pola negara multipartai.
Komoditas politik selama kampanye politik pasca reformasi 21 Mei 1998, bagaikan sayur sarat bumbu tak pakai takaran. Semua perwakilan bumbu dioplos, dikanibal jadi satu koalisi. Surplus penyedap rasa buatan multipihak. Kurang garam bisa diakali dengan aneka modus. Hakikat apa dan siapa yang disasar terabaikan. Modal selaku tukang aduk-aduk, mendapat suara pemilih. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar