beras sudah impor, tapi jangan makan rakyat
Protokol ekonomi nusantara memang tak mau akur dengan dimensi politik untuk urusan apapun kendati di bawah satu koordinasi. Simak lebih jauh, di situ tubuh manusia layak menjadi ajang konflik internal. Tubuh butuh dukungan pihak luar agar tetap bugar. Merebut kondisi yang diinginkan ternyata lebih berat ketimbang mempertahankan status.
Kebijakan makro, global, internasional wajib diterjemahkan ke kebijakan lokal negara anggota PBB. Negara gemar berkembang mengikuti arus zaman berkemajuan bebas tanpa batas. Radar politik penguasa nusantara sedemikian pekanya. Radikal bebas di depan mata malah dianggap denging nyamuk atau bisikan halus. Soal itu masuk pasal anti kemapanan tergantung sinyal luar.
Kondisi tak terduga sebagai hal, selaku pasal yang dinantikan, diharapkan. Menjadi dalih, alasan konstitusional untuk bertindak atas nama skenario, skema kerjasama berkesejahteraan. Konsesus atau kompromi formal pro-rakyat seumur sak udutan suwéné.
Kebijakan pengadaan pangan nasional berimpit, beririsan dengan jaga pasokan pakan antar pulau. Kebutuhan rakyat per perut menjadi dasar pajak. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar