Halaman

Senin, 18 Januari 2021

nasi sampai inap

nasi sampai inap

 Siapa bilang rasa lapar karena perut kosong, keroncongan atau badan kurang gairah untuk hidup. Perut masih isi pun, ternyata alarm diri tidak bisa dipungkiri. Gegara sedang renovasi rumah tinggal. Pakai jasa 4 tenaga (2 tukang dan 2 kenek) kerja harian. Tanpa desain, cukup dengan tukar pengalaman. Penentu utama adalah kilas balik ketinggian banjir 2007 dan awal tahun baru 2020.

 Ayunan cangkul pertama adalah membuat septictank dua kotak. Di lokasi septictank lama. Tinggi tutup sesuai ketinggian banjir awal tahun 2020. Kamar depan dikorbankan menjadi 2 km/wc. Arah jamban keluarga hindari arah kiblat. Info teknis cukup sekian. Kembali ke  judul olah kata.

 Edukasi dan dedikasi pekerja bangunan bersifat lepas. Diuntungkan keempatnya ada ikatan famili etnis Sunda. Pengalaman mereka tidak menjadikan diri serta merta dengan tambah ilmu. Hal-hal kecil tapi sebagai ciri profesionalitas tidak tampak. Terkadang alat standar tidak punya. Belum lagi teknik pilah pilih material, bahan bangunan. Cara menggunakan alat seenak jidat. Belum cerita tanaman hias dalam pot terkorbankan. Pulang kerja, langsung pulang. Alat ditinggal. Tidak ada pembersihan lokasi.

 Akumulasi awasi tukang sampai ambang kesal. Semakin dimengertikan malah muncul penyakit yang lain. Seperti disengaja atau memang watak tenaga kerja alias kerja andalkan tenaga. Alat elektrik kian menumpulkan keprigelan tangan. akhirnya, fungsi pengawasan beralih ke garwo. Terasa tekanan psikis butuh asupan gizi. Tanak nasi 300gr pagi hari dalam kondisi stabilisasi jiwa-raga, sore sudah habis. Itupun ditunjang suplemen roti gandum, jajanan kue produk tetangga, sesekali santap nasi warteg. Malam tunggu tukang mie. Tidak perlu disebutkan satu-persatu, pemirsa tidak butuh.

 Kondisi normal, sampai ganti hari bahkan basi, nasi belum ludes. [HaéN]

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar