wayang purwa, domba
sesat vs jangkrik aduan
Hanya ada di lakon wayang purwa. Dikisahkan secara
jenaka bahwasanya Batara Guru yang inap di Kayangan, yang dianggap dewanya pada
dewa. Naluri bisnis sex tetap membara. Bisa bangkit menyerupai manusia dan atau
orang. Maksudnya, bisa kontak dengan manusia bumi. Membuat keturunan di
beberapa negara anggota PBB.
Kata ahli yang lebih lihai, tempat kejadian perkara
hanya sebatas cerita Ramayana dan Mahabarata. Tidak ada yang aneh. Agar imajinasi
ini terasa nyata, akhirnya dibuat pakem trinoto. Uraiannya tak bisa diuraikan,
tergantung lakon dan pesanan penggemar wayang.
Hemat energy, kita simak tajuk: “éfék domino éra mégatéga, gembala penyesat vs gembala penghasut”. Alenia pertama saja:
Di padang dan hutan ideologi Nusantara, gembala
dengan segala keahliannya, semakin mendapat tempat. Dukungan berlimpah dari
investor politik lokal, interlokal, regional, nasional, multinasional tak
kunjung surut. Efék domino perjanjian dengan setan lama maupun persepakatan
dengan setan di éra mégatéga, tentu tak ada yang gratis. Operasi 24 jam,
sebelum anak bangsa Nusantara menjadi pengikut setianya.
Seperti belum nyaring bunyinya. Mau tak mau,
langsung simak alenia terakhir:
Benang merah bangsa penjajah dengan periode
2014-2019, adanya misi terselubung dengan sistem gaya zionis. Umat beragama
tauhid, tak perlu murtad. Namun dengan setia, loyal, patuh, tunduk – dengan pola
bonus idélogi non-Pancasila, tak pakai lama vs tidak perlu mikir – menjalankan ajaran mereka. Iming-imingnya tak
sekedar urusan perut, isi perut. Bisa sampai urusan harian bawah perut. Nikmat
dunia tersaji di depan mata dengan anéka mégaréka.
Akankah gembala dimaksud bagian dari trinoto. Tak ada
yang menyadari. Bagaimana dengan nasib anak cucu ideologis, biologis,
sosiologis Batara Guru. Roh kultus anak tetangga yang dianggap menjiwai
kehidupan domba berkaki dua. Juga tak ada yang mau tahu. Tahu-tahu. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar