Halaman

Kamis, 29 November 2018

karakter méntal mukiyo, bahasa tubuh bahasa verbal


karakter méntal mukiyo, bahasa tubuh bahasa verbal

Gaya hédonisme anak bangsa pribumi totok, tulen telah mengalami perubahan. Menyesuaikan diri dengan zaman. Kendati ybs masih tertinggal di landasan pacu. Semula sebagai paham yang beranggapan bahwa kesenangan adalah yang paling benar di dunia ini. Menjadi nikmat dunia adalah yang paling utama dan terasa mulia.

Ironis binti tragis, bahwasanya daya ideologi pelaku politik, sebatas asas menang ora menang, sing penting tetep éntuk-éntukan. Berkat format méntal mukiyo: durung ditakoni wis ngarani.

Bukan salah bunda mengandung. Bukan salah tanah air mengundang putra-putri asli daerah terbaik untuk maju béla negara, meruwat wibawa negara di laga kandang. Kesebelasan yang sarat kader karbitan, kader jenggot jauh periode sudah melakukan pola ‘belum meminang sudah menimang’.

Menu kampanye hitam, non-substantif, abal-abal menjadi karakter pesta demokrasi. Kian matang menjadikan kader partai bukan pilihan yang terbaik. Modal daya licik, mereka siap menjadi apa saja, di mana saja, kapan saja. Berpengalaman dengan hukum, menambah citra diri, nilai jual.

Periode 2014-2019 bukanlah suatu kemustahilan terjadinya akumulasi kedarutan bangsa dan negara. Rasa nasionalisme, patriotisme, heroisme menjurus ke arah global. Tampang lokal namun sarat ideologi interlokal.

Cerdas politik membutuhkan kejelian membaca peluang. Tidak perlu jadi petarung politik. Bebas biaya politik. Cukup siapkan, sediakan, siagakan, sigapkan diri – tidak perlu mikir – total melaksanakan skenario politik. Tak heran, jika ada stigma petugas partai bagi oknum kepala negara, presiden 2014-2019. Ingat bonus idéologi non-Pancasila, tak pakai lama vs tidak perlu mikir.

Karakter manusia politik dengan daya pikir, olah nalar, asah logika yang dominan menggunakan metoda glass box. Daya responsifnya bersifat spontan. Tanpa pikir panjang atau tanpa proses otak dan hati.

Praktik demokrasi Nusantara menghadirkan aneka aksi. Antara yang aneh dan lucu menjadi terpadu padan, seimbang. Antara yang menggelikan dan menjengkelkan sulit dibedakan. Antara yang rekayasa, manipulasi, modus dengan spontanitas, alami, wajar nyaris satu panggung. Tergantung persepsi mata telinga penggugah atau yang merasa tergugah. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar