tak
kenal Indonesia, maka tak akan lari kursi diuber
Hukum sudah
menyuratkan bahwa sumber utama konflik sosial adalah politik. Kendati di akar
rumput, syahwat politik tidak terasa. Sebatas omong ringan di warung makan,
warung kopi. Di ruang publik bergaya lesehan. Media massa menjadi sarana jitu pemacu
dan pemicu bencana politik.
Semakin banyak
anak bangsa pribumi Nusantara yang tak tahu bayangannya ada di mana. Berkaca,
bercermin semakin menambah rasa curiga diri.
Jangan-jangan ada asupan ideologi asing yang mewarnai warna rambutnya. Anehnya,
semakin main mata, disipitkan sambil bibir mencibir, untuk memanipulasi
penglihatan, malah menemukan sisa jati diri yang terkubur.
Balik sekilas ke
judul olahkata saya “asu mbalèni piringé vs panguwasa
mbélani kursiné”. Bukan pada judul judul
“mbalèni sega wadhang vs mbélani sega wadhang”.
Maunya, manusia
mau hidup lama. Atau malah mau hidup kembali untuk memperbaiki rapor amalnya.
Menghapus rekam jejak yang minus. Mengulang, memperbaiki, meningkatkan nilai
kehidupan yang membuat timbangan amalnya agar tidak masuk kategori tidak
menyenangkan.
Kalau sudah
duduk, maunya duduk lagi. Soal barisan di belakang, sudah bosan, jenuh, muak,
nek. Jangan hiraukan gonggongan. Soal amanat rakyat agar bangsa ini jangan
tergadaikan, bukan urusannya. Jangan kepalang tanggung. Mengacu semangat
Reformasi tak kalah garang. Menang jadi arang, kalah jadi abu. Menang disumpah,
kalah disumpahi.
Ada mulianya
kita tengok judul olahkata “INDONESIA–ku, demi
sebuah kursi serba dan anéka mégatéga”.
Namanya
Indonesia kawan, semakin berpengalaman menyelenggarakan pemilihan umum, malah
semakin banyak membuat ‘salah administrasi’. Membuka peluang pihak yamh amsih
aktig berkuasa. Semakin UU diperbarui dengan seksama sesuai selera penguasa
pada periode ybs. Bisa terjadi sebagai titipan dari pihak yang nyata kuasanya.
Proses pesta
demokrasi sudah bisa ditebak langkah konstitusionalnya. Tata niaga politik
tetap mengandalkan segala cara untuk meraih sebuah kemenangan. Semakin banyak
pasal, menunjukkan pelaku pesta demokrasi harus banyak akal. Main hitung
mundur.
Praktik akal
bulus sampai guna akal-akalan, sebagai alternatif utama. Lebih aman jika sudah
sesuai skenario, konspirasi, rekayasa dari investor politik multinasional
maupun internasional. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar