Halaman

Sabtu, 24 November 2018

tak kenal Indonesia, maka tak akan lari kursi diuber


tak kenal Indonesia, maka tak akan lari kursi diuber

Hukum sudah menyuratkan bahwa sumber utama konflik sosial adalah politik. Kendati di akar rumput, syahwat politik tidak terasa. Sebatas omong ringan di warung makan, warung kopi. Di ruang publik bergaya lesehan. Media massa menjadi sarana jitu pemacu dan pemicu bencana politik.

Semakin banyak anak bangsa pribumi Nusantara yang tak tahu bayangannya ada di mana. Berkaca, bercermin semakin menambah rasa curiga diri.  Jangan-jangan ada asupan ideologi asing yang mewarnai warna rambutnya. Anehnya, semakin main mata, disipitkan sambil bibir mencibir, untuk memanipulasi penglihatan, malah menemukan sisa jati diri yang terkubur.

Balik sekilas ke judul olahkata saya “asu mbalèni piringé vs panguwasa mbélani kursiné”. Bukan pada judul judul “mbalèni sega wadhang vs mbélani sega wadhang”.

Maunya, manusia mau hidup lama. Atau malah mau hidup kembali untuk memperbaiki rapor amalnya. Menghapus rekam jejak yang minus. Mengulang, memperbaiki, meningkatkan nilai kehidupan yang membuat timbangan amalnya agar tidak masuk kategori tidak menyenangkan.

Kalau sudah duduk, maunya duduk lagi. Soal barisan di belakang, sudah bosan, jenuh, muak, nek. Jangan hiraukan gonggongan. Soal amanat rakyat agar bangsa ini jangan tergadaikan, bukan urusannya. Jangan kepalang tanggung. Mengacu semangat Reformasi tak kalah garang. Menang jadi arang, kalah jadi abu. Menang disumpah, kalah disumpahi.

Ada mulianya kita tengok judul olahkata “INDONESIA–ku, demi sebuah kursi serba dan anéka mégatéga”.

Namanya Indonesia kawan, semakin berpengalaman menyelenggarakan pemilihan umum, malah semakin banyak membuat ‘salah administrasi’. Membuka peluang pihak yamh amsih aktig berkuasa. Semakin UU diperbarui dengan seksama sesuai selera penguasa pada periode ybs. Bisa terjadi sebagai titipan dari pihak yang nyata kuasanya.

Proses pesta demokrasi sudah bisa ditebak langkah konstitusionalnya. Tata niaga politik tetap mengandalkan segala cara untuk meraih sebuah kemenangan. Semakin banyak pasal, menunjukkan pelaku pesta demokrasi harus banyak akal. Main hitung mundur.

Praktik akal bulus sampai guna akal-akalan, sebagai alternatif utama. Lebih aman jika sudah sesuai skenario, konspirasi, rekayasa dari investor politik multinasional maupun internasional. [HN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar