pribumi
primitif bingung tangan tanpa status
Kejadian perkara
nyaris berulang. Pasal betapa gundah hati, gaduh kata, heboh ujar ketika ibu
rumga kehilangan muntu, ulekan. Atau layah
belah, cobek retak. Santai berkeliaran di jalan, menunggu suara PSK (pedagang
sayur keliling), mengenakan busana kebesaran. Daster 24 jam, anti cuci.
Garam dapur
habis, bisa pinjam, barter atau minta ke tetangga terdekat. Beli eceran ke warung
warga, keburu sayur gosong. Waktu simak sinetron berepisode, menjadi hak tanpa boleh diganggu gugat. Selingan dan
mengisi ulang energi.
Budaya Jawa
deles ditengarai panggilan ibu rumga dengan nama sang suami. Paling top adalah “Bu
Djoko, bu Djoko . . .”. Pariwara yang memancing lelucon politik. Diceluk “Pak
Sri”. Memang namanya Sri. Nama ‘Endang’ Sunda beda dengan ‘Éndang’ Jawa.
Kembali ke
alenia pertama atau pembuka. Beda zaman. Mau meramu, meracik, mengulek bumbu dapur
dengan bantuan teknologi berdaya listrik rendah. Soal cita rasa menjadi nomor
nonfavorit. Berani cabai, mahal tidak jadi soal. Utamakan gengsi perut.
Kapan olahkata
ini menyentuh substansi sesuai judul. Sabar. Pemahaman perlu waktu. Jangan sampai
gagal paham di tengah alur cerita.
Pengguna aktif
HP sudah merambah ke semua golongan usia dan atau umur. Tak pandang warna bulu
dan golongan darah. Bayi yang belum bisa bicara secara benar dan baik, tangan
sudah akrab, mahir dengan fitur. Semakin cerdas anak bangsa Nusantara, semakin
lihai memanipulasi watak bawaan diri sendiri. Barisan anti-sosial menjadi klas
tersendiri.
Apa jadinya
ketika sang HP sedang turun mesin, hilang atau ngadat. Belingsatan bak perokok
aktif asam mulut berhari-hari. Melebihi kesontoloyoan pengganda aneka ujaran
sepi order. Propaganda pemerintah terbuang percuma. Juga tidak. Loyalis penguasa
menganga tanpa daya hisap. Lebih dari itu kerugian negara. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar