Halaman

Senin, 26 November 2018

pribumi primitif bingung tangan tanpa status


pribumi primitif bingung tangan tanpa status

Kejadian perkara nyaris berulang. Pasal betapa gundah hati, gaduh kata, heboh ujar ketika ibu rumga kehilangan muntu, ulekan. Atau layah belah, cobek retak. Santai berkeliaran di jalan, menunggu suara PSK (pedagang sayur keliling), mengenakan busana kebesaran. Daster 24 jam, anti cuci.

Garam dapur habis, bisa pinjam, barter atau minta ke tetangga terdekat. Beli eceran ke warung warga, keburu sayur gosong. Waktu simak sinetron berepisode, menjadi hak  tanpa boleh diganggu gugat. Selingan dan mengisi ulang energi.

Budaya Jawa deles ditengarai panggilan ibu rumga dengan nama sang suami. Paling top adalah “Bu Djoko, bu Djoko . . .”. Pariwara yang memancing lelucon politik. Diceluk “Pak Sri”. Memang namanya Sri. Nama ‘Endang’ Sunda beda dengan ‘Éndang’ Jawa.

Kembali ke alenia pertama atau pembuka. Beda zaman. Mau meramu, meracik, mengulek bumbu dapur dengan bantuan teknologi berdaya listrik rendah. Soal cita rasa menjadi nomor nonfavorit. Berani cabai, mahal tidak jadi soal. Utamakan gengsi perut.

Kapan olahkata ini menyentuh substansi sesuai judul. Sabar. Pemahaman perlu waktu. Jangan sampai gagal paham di tengah alur cerita.

Pengguna aktif HP sudah merambah ke semua golongan usia dan atau umur. Tak pandang warna bulu dan golongan darah. Bayi yang belum bisa bicara secara benar dan baik, tangan sudah akrab, mahir dengan fitur. Semakin cerdas anak bangsa Nusantara, semakin lihai memanipulasi watak bawaan diri sendiri. Barisan anti-sosial menjadi klas tersendiri.

Apa jadinya ketika sang HP sedang turun mesin, hilang atau ngadat. Belingsatan bak perokok aktif asam mulut berhari-hari. Melebihi kesontoloyoan pengganda aneka ujaran sepi order. Propaganda pemerintah terbuang percuma. Juga tidak. Loyalis penguasa menganga tanpa daya hisap. Lebih dari itu kerugian negara. [HN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar