takut
kaya, jangan main politik
Tentunya bukan asumsi
sejarah. Acuan utama pada pergerakan anak bangsa masa persiapan kemerdekaan. Dibandingkan,
disandingkan, ditandingkan dengan aneka kejadian perkara pasca Proklamasi
sampai 21 Mei 1998.
Reformasi menjadi babak
pamungkas episode peseteruan, persaingan antar kawanan manusia politik. Jika bangsa
ini masih belum sadar, dimungkinkan tidak hanya perubahan peta politik. Peta Indonesia
bisa bergerak seolah tanpa kendali. Lapisan dasar yang jenuh dengan tingkah
laku manusia.
Sejaran peradaban
menyajikan pergerakan manusia Nusantara segala kasta sesuai falsafah Jawa: “obahing margo tutur”. Skala nasional terdapat pepatah
kerakyatan : “negara bisa dengan aba-aba, desa bisa dengan daya”.
Ikhwal anak cucu
ideologis, semakin meneguhkan faham atau isme yang pernah tumbuh kembang di
NKRI, tak akan musnah ditelan zaman. Mereka mampu merasuk ke wadah pergerakan
aliran kepercayaan, sekte, aliran kebatinan. Semakin mendapat wadah dan ruang
atau fasilitas konstitusional dengan maraknya laku LGBT.
Akhirnya negara
disibukkan oleh urusan pemenuhan kebutuhan, keperluan, kepentingan garam dapur
rakyat. Ukuran standar harian hanya seujung sendok the. Kalau tak dipenuhi
berarti filosofi ‘kenyang makan asam garam’, tak terpenuhi. Tak seimbang.
Kendati titel, gelar
akademis mampu menenggelamkan nama yang memakai, bukan jaminan mutu dan masa
depan. Ijazah, sertifikast hanya bukti pandai. Mampu mengikuti arus kehidupan
tanpa terhanyut, terbawa arus, tertelan arus, harus pandai-pandai.
Rumus sukses karir
politik, tidak bisa didekati dengan kemampuan akademis. Pandai-pandai pun
banyak yang berhal sama. Jangan heran, jika antara kaki dan tangan manusia
politik, saling mengakali. Saling tidak percaya. Antara tangan kanan dengan
tangan kiri, seolah bukan dari satu tubuh. Bebas sesuai kehendak si jari
tangan. Memang,
tangan kanan tidak bisa jabat tangan dengan tangan kiri tanda sepakat. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar