Halaman

Senin, 26 November 2018

tahun politik, lidah penguasa semakin nyaring tanpa saringan


tahun politik, lidah penguasa semakin nyaring tanpa saringan

Knalpot racing yang suaranya sudah sampai duluan. Hemat klakson. Tidak perlu pakai sirine. Itulah ulah pengguna jalan. Kode etik di jalan tak ada kaitannya dengan model kedisiplinan. Alat kelengkapan jalan, menjadi senjata ampuh aneka multi.

Pembaca maupun pemirsa, sekedar ungkit olahkata bertajuk “keblusuk di tahun politik vs melesat pesat di jalan sesat”.

Kiat penguasa mencari pasangan duet bukan karena kesesuaian atau idealisme diri. Tekanan investor politik lokal sudah terasa. Apa jadinya nanti jika skenario dan konspirasi dengan tarif baru. Selain melonjak diikuti syarat tanpa syarat, tidak mengikat. Sewaktu-waktu berubah dan tidak punya hak protes.

Awak bangsa Nusantara memang piawai. Pabriknya sudah tutup lama, namun mobil produknya masih berseliweran di jalana.  Dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa, dan bernegara kita dijejali, dipadati dengan berbagai wacana. Gaung utawa gema dampak bencana politik tetap terus bergulir. korbanK bencana sudah ikhlas sebelum kejadian.

Acara wawancara TV swasta berbasis dialog, diskusi, debat dengan menghadirkan figur publik yang sedang naik daun atau yang sedang jadi topik hangat terkini. Dikemas tanpa batas dengan host yang menampilkan kepiawaiannya dalam mengajukan runtutan tanya.

Tahun politik, khususnya di akhir periode 2014-2019, merupakan tahun kritis kepentingan politik vs kepentingan umum. Jika tidak bisa diminimalisir sampai ambang bawah, dipastikan kehidupan bangsa dan negara akan jadi korban sia-sia. Konsentrasi dan fokus parpol adalah mencari bekal dan akal agar bisa menang dalam pesta demokrasi. Ibarat lari jarak menengah, jelang finish 2019, semua pelari melakukan sprinter, tancap gas, masuk gigi terbesar.

Suasana kebatinan penyelenggara negara, pejabat publik, penguasa – khususnya yang baru kontrak di periode pertama – sudah mulai pasang kuda-kuda. Bagi yang memang biasa sepi ing pamrih, ramé ing gawé, tetap adem ayem. Ora perlu mbingungi.

Olahkata ini ada saringan nurani. Buka judul “komoditas tahun politik, obral dan diskon harga kursi”.

Segitiga setan : harta, takhta, jelita. Menjadikan anak bangsa pribumi totok,, putra-putri asli daerah, kaum bumipuitera, sanggup bertindak apa saja untuk meraihnya, menadahnya atau saling berebut bak lomba panjat pinang. Modus, rekayasa, manipulasi sampai pasal konstitusional hasil kolaborasi, kolusi, koalisi, kong kaling kong antara penguasa dan pengusaha menjadi daya dorong kebatinan.

Jangan lupa, pihak yang paling berkepentingan adalah pihak yang merasa kepentingannya selama ini terkendali, jangan sampai terganggu dengan kebijakan pemerintah mendatang.

NKRI terjebak pada tradisi politik dengan lebih mengutamakan sukses pemilu. Partsipasi pemilih sesuai harapan, minim golput. Bisa-bisanya bisa sesuai dengan asas “luber” alias langsung, umum, bebas dan rahasia. Diimbangi dengan pola NPWP (nomer piro wani piro). Soal bagaimana pasca janji dan sumpah jabatan, itu urusan nanti. Hanya soal waktu. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar