tahun
politik, lidah penguasa semakin nyaring tanpa saringan
Knalpot racing yang suaranya sudah
sampai duluan. Hemat klakson. Tidak perlu pakai sirine. Itulah ulah pengguna
jalan. Kode etik di jalan tak ada kaitannya dengan model kedisiplinan. Alat kelengkapan
jalan, menjadi senjata ampuh aneka multi.
Pembaca maupun
pemirsa, sekedar ungkit olahkata bertajuk “keblusuk di tahun politik vs melesat pesat di jalan sesat”.
Kiat penguasa mencari
pasangan duet bukan karena kesesuaian atau idealisme diri. Tekanan investor
politik lokal sudah terasa. Apa jadinya nanti jika skenario dan konspirasi
dengan tarif baru. Selain melonjak diikuti syarat tanpa syarat, tidak mengikat.
Sewaktu-waktu berubah dan tidak punya hak protes.
Awak bangsa
Nusantara memang piawai. Pabriknya sudah tutup lama, namun mobil produknya masih
berseliweran di jalana. Dalam kehidupan bermasyarakat
berbangsa, dan bernegara kita dijejali, dipadati dengan berbagai wacana. Gaung
utawa gema dampak bencana politik tetap terus bergulir. korbanK bencana sudah
ikhlas sebelum kejadian.
Acara wawancara
TV swasta berbasis dialog, diskusi, debat dengan menghadirkan figur publik yang
sedang naik daun atau yang sedang jadi topik hangat terkini. Dikemas tanpa
batas dengan host yang menampilkan kepiawaiannya dalam mengajukan runtutan tanya.
Tahun politik,
khususnya di akhir periode 2014-2019, merupakan tahun kritis kepentingan
politik vs kepentingan umum. Jika tidak bisa diminimalisir sampai ambang bawah,
dipastikan kehidupan bangsa dan negara akan jadi korban sia-sia. Konsentrasi
dan fokus parpol adalah mencari bekal dan akal agar bisa menang dalam pesta
demokrasi. Ibarat lari jarak menengah, jelang finish 2019, semua pelari
melakukan sprinter, tancap gas, masuk gigi terbesar.
Suasana
kebatinan penyelenggara negara, pejabat publik, penguasa – khususnya yang baru
kontrak di periode pertama – sudah mulai pasang kuda-kuda. Bagi yang memang
biasa sepi ing pamrih, ramé ing gawé, tetap adem ayem. Ora perlu mbingungi.
Olahkata ini ada
saringan nurani. Buka judul “komoditas tahun politik,
obral dan diskon harga kursi”.
Segitiga setan :
harta, takhta, jelita. Menjadikan anak bangsa pribumi totok,, putra-putri asli daerah, kaum
bumipuitera, sanggup bertindak apa saja untuk meraihnya, menadahnya atau saling
berebut bak lomba panjat pinang. Modus, rekayasa, manipulasi sampai pasal
konstitusional hasil kolaborasi, kolusi, koalisi, kong kaling kong antara
penguasa dan pengusaha menjadi daya dorong kebatinan.
Jangan lupa,
pihak yang paling berkepentingan adalah pihak yang merasa kepentingannya selama
ini terkendali, jangan sampai terganggu dengan kebijakan pemerintah mendatang.
NKRI terjebak
pada tradisi politik dengan lebih mengutamakan sukses pemilu. Partsipasi pemilih
sesuai harapan, minim golput. Bisa-bisanya bisa sesuai dengan asas “luber”
alias langsung, umum, bebas dan rahasia. Diimbangi dengan pola NPWP (nomer piro wani piro). Soal
bagaimana pasca janji dan sumpah jabatan, itu urusan nanti. Hanya soal waktu. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar