dialéktika generasi
medsos, syahwat politik terintegrasi vs penghematan daya pikir
Makna relawan terkontaminasi, terimbas politik
uang. Sistem paket terbuka, tapi bukan lelang terbuka. Rute selalu berubah
tergantung penawaran. Tujuan akhir tergantung tekad dan daya nekat. Tanpa modal
sepeserpun, asal mengutamakan asas multi mégatéga maupun mengedepankan pola anéka
mégatéga, tinggal tunggu rajah tangan.
Relawan sejati tak memikirkan imbalan. Kerja ikhlas
dan ridho dengan hasil kerelawanannya. Sigap dengan situasi dan kondisi dalam
negeri. Petugas sosial bersifat individual, perseorangan, pribadi ata padanan
lainnya. Karena hobi malah bisa profesional. Bentuk lain dari pemandu. Zaman
doeloe, pandu yang sekarang pramuka, siaga 24 jam. Atau pada jam kerja bisa
dijumpai di mana saja. Mungkin.
Relawan politik jelas aturan mainnya. Tak ikut main
pun bisa mendapat yang jelas-jelas. Transparan. Ukuran raihan sukses bukan
karena kontribusi keringat. Mengandalkan nama besar kakek-nenek moyang, trah,
silsilah. Anak cucu biologis beriringan dengan ideologis. Dimungkinan ideologi
yang ada di NKRI, apalagi yang diproklamirkan sebelum Proklamasi 17 Agustus
1945, tak akan surut dari percaturan politik.
Politisi sipil maupun mantan angkatan, berhal yang
sama. Begitu terjebak aroma irama syahwat politik, akan menggunakan modus yang
tak jauh beda. Tantangan profesionalisme, diformat bak dua sisi mata uang.
Saling melengkapi dan atau kontradiktif. Tergantung arus bawah laut yang sulit
dideteksi.
Pantas vs Pintas. Menjawab tantangan peradaban menjadikan perilaku manusia politik lupa
adab. Efek domino negara multipartai, kalau tidak merasa negara milik partai
politik, melesetnya adalah kedaulatan berada di tangan rakyat. Praktiknya,
kedaulatan ada di tangan juara umum pesta demokrasi. ini baru menyangkut sistem.
Secara individu, persaingan bukannya membuat
manusia politik selalu memampukan diri. Energi dihabiskan untuk mencari peta
dan jalan secara ekonomis. Modal minimal dengan hasil maksimal.
Lantas vs Lintas. Modal sumbu pendek, perlu saat persaingan sudah tak kenal mana kawan,
siapa lawan. sulit menebak ini sekutu atau bahkan seteru. Atau sebaliknya. Dalil
seolah ‘tanpa batas jarak, tanpa tenggang waktu’, otak terlatih berpikir cepat
tanpa akal, minus logika, hampa nalar. Reaktif, ibarat sudah menjawab sebelum
ditanya. Sudah menentukan sebelum ditawari.
Sekali mikir, dua tiga masalah terpecahkan. Sekali duduk,
dua tiga perkara dibangkitkan dengan asas layak diduga berdampak masalah. Ujung
jari menjadi harimau-mu. Dampaknya melampaui daya rusak ujung lidah. Interaksi antar
masalah untuk menghasilkan masalah baru.
Sempat vs Sempit. Lagu lawas yang tetap eksis di belantara politik Nusantara. Berbuat baik
jangan ditunda-tunda. Peluang tak akan pernah datang apalagi mendekati. Selama belum
ada janur kuning melengkung, pratanda bisa saling menelikung.
Sesama anggota koalisi pro-pemerintah bebas
salip-menyalip dalam lipatan.
Jangan lupa, sebetulnya manusia politik itu
sifatnya ridho dengan apa yang diterimanya dan ikhlas hati atas segala
pengeluarannya, pengasihannya. Tidak tamak. Pentingkan urusan hari ini, karena
besok memang bukan milik kita. Kalau bisa sekarang mengapa harus menunggu
nanti. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar