rakyat Indonesia tak gagap oleh musim salah musim
Tak layak diperdebatkan, jika
penyelenggara negara ada yang bermuka badak. Tampilan ringan dengan ekspresi muka
tembok. Rai gedèg, ini falsafah
Jawa. Merupakan syarat teknis, agar tetap eksis selama satu periode. Abaikan ujaran
sampah orang lain. Utamakan sampah dalam negeri. Lokal atau produk partai
politik.
Jika ada sesama koalisi pro-penguasa
saling menggonggong, tanda musim hujan tak serentak. Tak merata antar dapil. Jangan
lupa, politik dinasti menjadikan arus daerah lebih laju. Modus lokal mudah
terendus dan terciduk. Lengkap sudahlah kerjasama pemerintah dan swasta
mensejahterakan diri sendiri. Buktikan!
Kerugian negara tak mempengaruhi
daya belanja masyarakat. Serta tak mungkin pengusaha bangkrut. Lazim jika
terjadi persekutuan dan atau perseteruan antara penguasa dengan pengusaha. Terbaca
saat jelang pesta demokrasi. ingat akan judul “sisi kelam kampanye negatif,
politisi butuh dana vs pengusaha butuh kebijakan publik”.
Tindak pidana korupsi (tipikor) atau
pasal lainnya, tidak mengenal batas gender. Tata niaga korupsi . . . rasanya lebih
elok simak judul bulan ini: “kisah trisukses 2014-2019”.
Pengalaman hidup selama pasca reformasi
yang dimulai dari puncaknya, 21 Mei 1998, menjadikan anak bangsa tahan banting.
Kendati “memajukan masa
depan vs melambatkan masa kini” menjadi ciri utama generasi medsos, bukan masalah.
NKRI memang butuh cuci gudang. Tahun
politik menjadi titik balik kesadaran bangsa akan masa depan. Asam garam
kehidupan berbangsa dan bernegara menambah kepekaan, daya tahan dan daya juang
rakyat. Nasib diri ada di tangan
sendiri. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar