Halaman

Senin, 12 November 2018

rakyat Indonesia tak gagap oleh musim salah musim

rakyat Indonesia tak gagap oleh musim salah musim

Tak layak diperdebatkan, jika penyelenggara negara ada yang bermuka badak. Tampilan ringan dengan ekspresi muka tembok. Rai gedèg, ini falsafah Jawa. Merupakan syarat teknis, agar tetap eksis selama satu periode. Abaikan ujaran sampah orang lain. Utamakan sampah dalam negeri. Lokal atau produk partai politik.

Jika ada sesama koalisi pro-penguasa saling menggonggong, tanda musim hujan tak serentak. Tak merata antar dapil. Jangan lupa, politik dinasti menjadikan arus daerah lebih laju. Modus lokal mudah terendus dan terciduk. Lengkap sudahlah kerjasama pemerintah dan swasta mensejahterakan diri sendiri. Buktikan!

Kerugian negara tak mempengaruhi daya belanja masyarakat. Serta tak mungkin pengusaha bangkrut. Lazim jika terjadi persekutuan dan atau perseteruan antara penguasa dengan pengusaha. Terbaca saat jelang pesta demokrasi. ingat akan judul “sisi kelam kampanye negatif, politisi butuh dana vs pengusaha butuh kebijakan publik”.

Tindak pidana korupsi (tipikor) atau pasal lainnya, tidak mengenal batas gender. Tata niaga korupsi . . . rasanya lebih elok simak judul bulan ini: “kisah trisukses 2014-2019”.

Pengalaman hidup selama pasca reformasi yang dimulai dari puncaknya, 21 Mei 1998, menjadikan anak bangsa tahan banting. Kendati “memajukan masa depan vs melambatkan masa kini” menjadi ciri utama generasi medsos, bukan masalah.

NKRI memang butuh cuci gudang. Tahun politik menjadi titik balik kesadaran bangsa akan masa depan. Asam garam kehidupan berbangsa dan bernegara menambah kepekaan, daya tahan dan daya juang rakyat.  Nasib diri ada di tangan sendiri. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar