rakyat
adil, makmur, sejahtera sudah terwakili
Secara
simbolis, penduduk yang masuk kategori, kriteria ‘adil, makmur, sejahtera’ versi
BPS sudah terdapat di setiap provinsi. Masalah persentase, tidak masalah. Bahkan
ada yang jauh di atas rata-rata nasional, penguasa boleh tepuk dada.
Soal ada
penduduk yang pra-sejahtera lebih dikarenakan pola hidup, gaya hidup, dan
tuntutan zaman. Saking sejahteranya, daya belanja penduduk pada kebutuhan
pangan, melampaui pasokan beras petani dalam negeri.
Dalil lain
menyebutkan, gandum bukan tanaman asli Nusantara, tidak layak tumbuh. Kebutuhannya
bisa diatasi dengan mengkayakan petani luar negeri. Tak terlacak aneka buah
lokal dengan label halal impor. Bebas pupuk buatan dan bebas anti hama kimawi.
Penduduk
yang menjadi obyek pembangunan, mau tak mau harus berkorban demi sukses
pembangunan segala bidang.
Sebelum
jauh melantur, ingat BPS. Jika ada rakyat dalam persentase besar masuk di luar
mahzab ‘adil, makmur, sejahtera’ secara konstitusional mendapat stigma sebagai
masyarakat kurang beruntung.
Prioritas
pembangunan daerah pun ditujukan kepada lapisan masyarakat yang siap berubah. Siap
menerima konsekuensi, dampak, efek pembangunan. Pihak swasta lebih memanjakan
kasta warganegara utama.
Kebutuhan
dasar rakyat papan bawah, didekati dengan program/kegiatan anti-miskin. Asumsi bahwa
kasta dasar ini memang lebih tahan banting. Hidup mengandalkan memurahan dan
keramahan alam. Bukan berarti terbelakang. Sebagian dari mereka masuk bursa
generasi medsos.
Kemajuan
peradaban, peradaban berkemajuan anak bangsa Ibu Pertiwi, putera puteri asli
daerah, kaum pribumi dan bumiputera, karena mampu mengeksploitasi
komersialisasi tindak pikir, tindak tutur, dan tindak laku. Modal mulut dan
ujung jari, merasa bagian integral dari penguasa. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar