Halaman

Rabu, 21 November 2018

rekayasa golput, pra-DPT vs pasca coblosan


rekayasa golput, pra-DPT vs pasca coblosan

Semakin bangsa ini berpengalaman menyelenggarakan pesta demokrasi, maka hasil akhirnya semakin mudah ditebak. Ambisi politik Pemerintah maupun pemerintah daerah menjadi faktor penentu. Pilkada serentak 2014-2019 dan pemilu serentak 2019, semakin terasa bahwa hasil akhir hanya bak menghitung mundur.

Rakyat sadar politik semakin sadar akan hak politiknya. Semakin yakin dan mempunyai kepastian saat menggunakan hak pilihnya. Secara ekonomi, tiap hari dilatih menentukan pilihan belanja. Mana barang impor, mana produk lokal menjadi mata pelajaran berharga. Berkat jasa media massa, sudah tahu manusia dan orang macam apa yang namanya penyelenggara negara.

Menghadapai pemilu legislatif dan pipres serentak, Rabu 17 April 2019, sudah banyak acuan, rujukan, bahan pustaka, informasi. Diperkuat dengan tampilan diri capres dan cawapres. Semakin saling adu bersih diri, semakin kelihatan belangnya.

Tak salah anak bangsa pribumi lebih semangat ke pilpres 2019 ketimbang pemilu legislatif. Bangsa ini nyaris terbelaj menjadi dua. Antara kawanan loyalis penguasa yang masih aktif dengan rakyat yang mengutamakan perubahan mendasar.

Disebut di atas, pengalaman pihak penyelenggara pesta demokrasi tak bisa lepas dari nikmat dunia. Sebagai bangsa yang besar, kasus kecil bisa membengkak. Kasus besar bisa dengan gampangnya menyusut. Semakin biaya politik tak terdeteksi, berarti nilai jual kursi sudah terlacak.

Bukan sekedar praktik nyata, bahwasanya peta politik, dapil menjadi sasaran tembak pebisnis politik. Bukannya pemilih tak menggunakan hak pilihnya alias golput. Pemilih pemula atau pemilih dengan sekali pengalaman, bisa masuk target operasi. Kantong pemilih yang tak menguntungkan penguasa, pemilih yang tak dikendaki kehadirannya, akan diseleksi dengan sedemkian rinci.

Sebaliknya, ada permukiman yang mendadak berpenghuni dengan KTP-el setempat. Atau muncul ‘surat panggilan’ yang bermanfaat setelah pemilih pada umumnya sudah di rumah. Disebut pemilih siluman, itu lagu lama. Di era TIK, modusnya sesuai zaman. Tanpa kerja pantarlih, sudah muncul DPT di keluarahan. Ketua RW tak merasa ada kegiataan pendataan ke warganya.

Perang selanjutnya, pada pasca coblosan. Setelah hasil di TPS resmi diumumkan. Lanjut dibawa sesuai pedoman. Di jalur inilah, operasi pemenangan mulai tancap gas. Goncangan demi goncangan di perjalanan bisa merubah struktur perolehan angka. Jika tak muncul aneka keganjilan, bukan Indonesia namanya. Pengamat internasional tahu diri. [HN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar