generasi medsos terjajah
tangan sendiri
Penentuan kriteria generasi bukan pada batasan umur
dan atau usia. Karena umur dan atau usia bukan jaminan mutu. Simak juga ukuran
sepatu, ukuran lingkar PDK (perut, dada, kepala), ratio BB – berat badan maupun
bau badan – serta kandungan komponen lokal. Abaikan gelar akademik atau
tumpukan ijazah maupun sertifikat.
Aneka pencitraan, penamaan, penyebutan, julukan,
predikat generasi Nusantara – cepat matang luar vs malas gedhé – di periode
2014-2019, bersifat suka-suka yang punya mulut. Pihak yang tak berwenang pun
ikut-ikutan sumbang suara. Menjadi bukti ringan walau tanpa survei. Dikemas apa
adanya. Setiap saat nilai jual, nilai tukar bisa berubah tanpa berita resmi
dari pemerintah.
Jelas bukan salah generasi, apalagi bunda yang
mengadung. Salah asupan gizi, lalapan nutrisi karena zat kimia pupuk dan antihama,
mungkin sekali. Selalu telat makan atau asal telan tanpa kunyah dengan seksama.
Memang sudah watak dasarnya. Kalau sudah begini jadinya, mau apa lagi.
Bonus demografi diimbangi dengan generasi Nusantara
yang busuk sebelum matang. Jam sibuk disibuki dengan perang kata liwat media
sosial. Semakin bertulis kata semakin pamer bégo.
Tak ada beda antara kawanan yang sarat makan bangku
dengan kelompok yang sekolah alam di jalanan. Bertemu di satu wadah untuk unjuk
kata.
Generasi Nusantara tak ditentukan oleh batasan
usia. Karena anak kemarin sore, anak bau kencur atau bahkan sejak dalam
kandungan sudah ramah TIK. Dunia semakin sempit dan menyempitkan pertumbuhan
jiwa raga. Pemain di dunia maya tak disyaratkan pendidikan formalnya. Asal bisa
calistung, langsung masuk pasar bebas menulis. Merdeka berujar apapun.
Anak bangsa lebur dalam kekaburan manfaat TIK.
Merasa menemukan jati diri, harga diri, citra diri, pesona diri. Sedemikian
merasa keakuannya. Muncul konflik internal. Kaki tak percaya akan ketulusan
tangan.
Tangan kanan sudah meninggalkan koordinasi dengan
tangan kiri.
Mana otak kanan, mana otak kiri, yang dominan malah
otak yang disusupi gelombang TIK. Sejak revolusi TIK, semakin bangga dan yakin
diri karena di tangannya menjadikan kaki tak kemana-kemana.
Pemain tunggal, bertanya sendiri dijawab sendiri.
Mempertanyakan jawabannya sendiri. Terkèkèh sendiri.
Pasal pembakaran bendera tauhid, hanya sebatas
kenakalan generasi yang kurang akal. Fakta ringan adanya kasus pembakaran
bendera tauhid pada saat peringatan Hari Santri 22 Oktober 2018, lepas dari
unsur sengaja dan direncanakan, hanya dikatakan sebagai kenakalan generasi yang
serba bebas. Wajar, mereka menyalurkan aspirasinya. Jangan kuatir, masih banyak
stok udang di balik batu.
Efek domino kaidah seolah ‘tanpa batas jarak, tanpa
tenggang waktu’, otak terlatih berpikir cepat tanpa akal, minus logika, hampa
nalar. Reaktif, ibarat sudah menjawab sebelum ditanya. Sudah menentukan sebelum
ditawari.
Apa pun yang ditangkap pancaindra, langsung dicerna
dengan lapang dada. Emosi berjalan tak stabil. Tanpa proses hati. Proses yang
ada hanya pengenalan waktu. Syarat administrasi tidak dibutuhkan. Syarat khusus
tidak disyaratkan. Asal masih bisa calistung. Nyali di atas rata-rata. Artinya
wajib serba multi mégatéga. Tangan kanan harus téga terhadap tangan kiri. Lupa,
sebelumnya tangan harus téga ke kaki atau sebaliknya.
Akhirnya walau belum berakhir, generasi medsos
merasa kehilangan tangan. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar