Halaman

Sabtu, 03 November 2018

generasi medsos terjajah tangan sendiri


generasi medsos terjajah tangan sendiri

Penentuan kriteria generasi bukan pada batasan umur dan atau usia. Karena umur dan atau usia bukan jaminan mutu. Simak juga ukuran sepatu, ukuran lingkar PDK (perut, dada, kepala), ratio BB – berat badan maupun bau badan – serta kandungan komponen lokal. Abaikan gelar akademik atau tumpukan ijazah maupun sertifikat.

Aneka pencitraan, penamaan, penyebutan, julukan, predikat generasi Nusantara – cepat matang luar vs malas gedhé – di periode 2014-2019, bersifat suka-suka yang punya mulut. Pihak yang tak berwenang pun ikut-ikutan sumbang suara. Menjadi bukti ringan walau tanpa survei. Dikemas apa adanya. Setiap saat nilai jual, nilai tukar bisa berubah tanpa berita resmi dari pemerintah.

Jelas bukan salah generasi, apalagi bunda yang mengadung. Salah asupan gizi, lalapan nutrisi karena zat kimia pupuk dan antihama, mungkin sekali. Selalu telat makan atau asal telan tanpa kunyah dengan seksama. Memang sudah watak dasarnya. Kalau sudah begini jadinya, mau apa lagi.

Bonus demografi diimbangi dengan generasi Nusantara yang busuk sebelum matang. Jam sibuk disibuki dengan perang kata liwat media sosial. Semakin bertulis kata semakin pamer bégo.

Tak ada beda antara kawanan yang sarat makan bangku dengan kelompok yang sekolah alam di jalanan. Bertemu di satu wadah untuk unjuk kata.

Generasi Nusantara tak ditentukan oleh batasan usia. Karena anak kemarin sore, anak bau kencur atau bahkan sejak dalam kandungan sudah ramah TIK. Dunia semakin sempit dan menyempitkan pertumbuhan jiwa raga. Pemain di dunia maya tak disyaratkan pendidikan formalnya. Asal bisa calistung, langsung masuk pasar bebas menulis. Merdeka berujar apapun.

Anak bangsa lebur dalam kekaburan manfaat TIK. Merasa menemukan jati diri, harga diri, citra diri, pesona diri. Sedemikian merasa keakuannya. Muncul konflik internal. Kaki tak percaya akan ketulusan tangan.

Tangan kanan sudah meninggalkan koordinasi dengan tangan kiri.

Mana otak kanan, mana otak kiri, yang dominan malah otak yang disusupi gelombang TIK. Sejak revolusi TIK, semakin bangga dan yakin diri karena di tangannya menjadikan kaki tak kemana-kemana.

Pemain tunggal, bertanya sendiri dijawab sendiri. Mempertanyakan jawabannya sendiri. Terkèkèh sendiri.

Pasal pembakaran bendera tauhid, hanya sebatas kenakalan generasi yang kurang akal. Fakta ringan adanya kasus pembakaran bendera tauhid pada saat peringatan Hari Santri 22 Oktober 2018, lepas dari unsur sengaja dan direncanakan, hanya dikatakan sebagai kenakalan generasi yang serba bebas. Wajar, mereka menyalurkan aspirasinya. Jangan kuatir, masih banyak stok udang di balik batu.

Efek domino kaidah seolah ‘tanpa batas jarak, tanpa tenggang waktu’, otak terlatih berpikir cepat tanpa akal, minus logika, hampa nalar. Reaktif, ibarat sudah menjawab sebelum ditanya. Sudah menentukan sebelum ditawari.

Apa pun yang ditangkap pancaindra, langsung dicerna dengan lapang dada. Emosi berjalan tak stabil. Tanpa proses hati. Proses yang ada hanya pengenalan waktu. Syarat administrasi tidak dibutuhkan. Syarat khusus tidak disyaratkan. Asal masih bisa calistung. Nyali di atas rata-rata. Artinya wajib serba multi mégatéga. Tangan kanan harus téga terhadap tangan kiri. Lupa, sebelumnya tangan harus téga ke kaki atau sebaliknya.

Akhirnya walau belum berakhir, generasi medsos merasa kehilangan tangan. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar