adab generasi Nusantara,
tak bisa memakai tapi ahli merusak
Bukan saya. Untung ada saya. Kalau bukan saya,
siapa lagi. Kapan lagi kalau bukan saya lagi. Lantas, saya ini siapa. Saya
bukan siapa-siapa. Lagi-lagi saya.
Ahli bongkar pasang, dalam praktiknya memang lebih
lihai main bongkar. Soal memasang, merakit kembali, mengutuhkan serahkan kepada
ahlinya. Atau kalau tak mau diajak berkongsi, berkolaborasi, singkirkan.
NKRI yang sudah utuh, dicoba diotak-atik. Dibagi
habis sesuai peta politik. Koalisi partai politik pro-pemerintah, pro-penguasa
hanya berlaku di pusat. Di provinsi sudah berubah drastis. Di tingkat
kabupaten/kota, ditentukan nilai jual. Politik dinasti atau pemerintah bayangan
bukan hal tabu, nista, aib. Konstitusional sesuai aspirasi (politik) daerah.
Awak media masa, berbayar atau model bonus, acap sigap
mempublikasikan temuan mereka. Modusnya tidak hanya tidak secara netral, tidak
berpihak. Tekanan politik mengarah pemberitaan ekstra tendensius. Diolah dengan
digoreng, digodog sedemikan rupa bak proses peradilan.
Wajar,
dengan pola ‘pre-trial publicity’ memberi peluang aktif untuk mewujudkan asas ‘trial by the media’. Bisa karena
profesionalisme, panggilan tugas maupun pesanan atau demi peringkat komersial.
Ikhwal di atas, opini publik, sentimen publik,
suara rakyat memang labil. Berita provokatif dalam sekejap ditelan pemirsa yang
kurang kerjaan. Karena media di bawah komunikasi, koordinasi, kendali penguasa,
maka siarannya tak jauh-jauh dari dalil propaganda.
Kata bijak, “senang melihat orang lain susah; susah
melihat orang lain senang”. Maunya panen tapi tak mau menanam. Apa lagi ini
kawan.[HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar