Halaman

Senin, 19 November 2018

adab generasi Nusantara, tak bisa memakai tapi ahli merusak


adab generasi Nusantara, tak bisa memakai tapi ahli merusak

Bukan saya. Untung ada saya. Kalau bukan saya, siapa lagi. Kapan lagi kalau bukan saya lagi. Lantas, saya ini siapa. Saya bukan siapa-siapa. Lagi-lagi saya.

Ahli bongkar pasang, dalam praktiknya memang lebih lihai main bongkar. Soal memasang, merakit kembali, mengutuhkan serahkan kepada ahlinya. Atau kalau tak mau diajak berkongsi, berkolaborasi, singkirkan.

NKRI yang sudah utuh, dicoba diotak-atik. Dibagi habis sesuai peta politik. Koalisi partai politik pro-pemerintah, pro-penguasa hanya berlaku di pusat. Di provinsi sudah berubah drastis. Di tingkat kabupaten/kota, ditentukan nilai jual. Politik dinasti atau pemerintah bayangan bukan hal tabu, nista, aib. Konstitusional sesuai aspirasi (politik) daerah.

Awak media masa, berbayar atau model bonus, acap sigap mempublikasikan temuan mereka. Modusnya tidak hanya tidak secara netral, tidak berpihak. Tekanan politik mengarah pemberitaan ekstra tendensius. Diolah dengan digoreng, digodog sedemikan rupa bak proses peradilan.

 Wajar, dengan pola ‘pre-trial publicity’ memberi peluang aktif untuk mewujudkan asas ‘trial by the media’. Bisa karena profesionalisme, panggilan tugas maupun pesanan atau demi peringkat komersial.

Ikhwal di atas, opini publik, sentimen publik, suara rakyat memang labil. Berita provokatif dalam sekejap ditelan pemirsa yang kurang kerjaan. Karena media di bawah komunikasi, koordinasi, kendali penguasa, maka siarannya tak jauh-jauh dari dalil propaganda.

Kata bijak, “senang melihat orang lain susah; susah melihat orang lain senang”. Maunya panen tapi tak mau menanam. Apa lagi ini kawan.[HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar