Halaman

Selasa, 27 November 2018

karakter utama loyalis penguasa versi Reformasi


karakter utama loyalis penguasa versi Reformasi

Baru kali ini penulis menulis kata Reformasi, biasanya cukup hormat dengan kata reformasi. Bukan sebagai orde, bak Orde Lama maupun Orde Baru. Bukan pula sebagai rezim presiden seumur hidup Orla dan atau penguasa tunggal Orba.

Langsung saja bahwasanya sifat netral diawali dengan sikap loyal total kopral. Bela negara diterjemahkan sebagai jaga wibawa negara selama periode berjalan. Jika ada niatan penguasa memperpanjang atau menambah daya, serta merta ‘siap!’ menjadi harga mati.

Tak salah setiap presiden mempunyai pendukung yang fanatik. Dianggap sebagai figure, panutan, atau apa saja. Nyatanya memang bukan karena apa-apa. Terasa nyata di reformasi yang mulai bergulir dari puncaknya, 21 Mei 1998.

Kawanan loyalis pada dasarnya tahu akan dapat apa. Bukan hanya itu ternyata. Seperti sudah ada kesepakatan tak tertulis, kesepakatan timbal balik. Kode etik sibuk di syahwat politik, bak berburu atau menanti. Pengalaman bukan jaminan atau berkorelasi dengan nilai jual. Justru sebagai barang baru, sebagai yang diburu.

Biaya politik sebagai bukti nyata bahwa jaminan atau timbal-balik menjadi yang pertama, utama dan segala-galanya. Mendukung penguasa, apalagi yang mau lanjut ke periode terakhir, ibarat menaruh uang muka. Kalkulasi politik tak bisa mengabaikan dalil manusia ekonomi. Judi politik menjadi taruhan politik yang mempertaruhkan, mengorbankan masa depan bangsa demi kekuasaan semu.

Akankah NKRI tidak bisa menentukan nasib sendiri secara mandiri, di atas kaki sendiri. Jangan salahkan siapa-siapa jika 2014-2019 adalah ambang bawah perguliran reformasi. [HN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar