karakter
utama loyalis penguasa versi Reformasi
Baru kali ini
penulis menulis kata Reformasi, biasanya cukup hormat dengan kata reformasi. Bukan
sebagai orde, bak Orde Lama maupun Orde Baru. Bukan pula sebagai rezim presiden
seumur hidup Orla dan atau penguasa tunggal Orba.
Langsung saja
bahwasanya sifat netral diawali dengan sikap loyal total kopral. Bela negara
diterjemahkan sebagai jaga wibawa negara selama periode berjalan. Jika ada
niatan penguasa memperpanjang atau menambah daya, serta merta ‘siap!’ menjadi
harga mati.
Tak salah setiap
presiden mempunyai pendukung yang fanatik. Dianggap sebagai figure, panutan,
atau apa saja. Nyatanya memang bukan karena apa-apa. Terasa nyata di reformasi
yang mulai bergulir dari puncaknya, 21 Mei 1998.
Kawanan loyalis
pada dasarnya tahu akan dapat apa. Bukan hanya itu ternyata. Seperti sudah ada
kesepakatan tak tertulis, kesepakatan timbal balik. Kode etik sibuk di syahwat
politik, bak berburu atau menanti. Pengalaman bukan jaminan atau berkorelasi
dengan nilai jual. Justru sebagai barang baru, sebagai yang diburu.
Biaya politik
sebagai bukti nyata bahwa jaminan atau timbal-balik menjadi yang pertama, utama
dan segala-galanya. Mendukung penguasa, apalagi yang mau lanjut ke periode
terakhir, ibarat menaruh uang muka. Kalkulasi politik tak bisa mengabaikan dalil
manusia ekonomi. Judi politik menjadi taruhan politik yang mempertaruhkan,
mengorbankan masa depan bangsa demi kekuasaan semu.
Akankah NKRI
tidak bisa menentukan nasib sendiri secara mandiri, di atas kaki sendiri. Jangan
salahkan siapa-siapa jika 2014-2019 adalah ambang bawah perguliran reformasi. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar