Halaman

Sabtu, 24 November 2018

ken[d]ali diri sendiri sejak dini


ken[d]ali diri sendiri sejak dini

Sebagai makhluk sosial, maka manusia dan atau orang, butuh orang lain. Butuh teman hidup, sebagai pasal wajib yang tak bisa dihindari. Menuju kuburannya sendiri, tak bisa dilakukan secara mandiri. Bantuan, dukungan nyata berupa gotong royong berasaskan kerukunan.

Di negara yang lebih maju daripada NKRI, sistem pendidikan formal mencetak anak cepat mandiri. Pada usia tertentu, ketika masuk kategori dewasa, anak sudah bebas tidak serumah dengan orang tuanya.

Keluarga besar menjadikan anak yang sudah berkeluarga, beranak, tetap tinggal serumah dengan orang tuanya. Asas hidup sesuai semboyan: mangan ora mangan, sing penting kumpul. Anak lulus SMA atau yang sederajat, meneruskan tradisi orang tuanya yaitu bekerja. Jangankan untuk membantu ekonomi orang tuanya, untuk diri sendiri saja pas-pasan. Itu doeloe.

Sekarang, tak beranjak jauh. Berkat kebijakan pemerintah menyediakan lapangan kerja. Dunia kerja di  Nusantara menjadi skala global. Daya saing anak bangsa pribumi dipertaruhkan.

Menghadapai lawan politik di tahun politik atau babak akhir periode 2014-2019, tampak jati diri manusia politik sedemikan terbaca oleh umum. Memang tidak ada etika, kode etik, moral, adab berpolitik. Serahkan kepada kekuatan pasar. Tergantung penawaran yang paling menuntungkan perusahaan partai politik.

Peribahasa “tak kenal, maka tak akan lari gunung diratakan”. Populasi anak cucu ideologis disbanding populasi bangsa, tak sebanding. Namun, namanya politik menjadi titik retak bangsa. Semakin banyak partai politik, indikasi rasa persatuan dan kesatuan bersifat semu.

Idealnya, setiap provinsi mempunyai satu partai politik lokal. Berlaga di belantara politik nasional untuk menemukan sosok kepala negara. Nyaris lupa, wakil provinsi yang juga wakil rakyat sekaligus wakil daerah. Bukan bahan kampanye. Juga bukan antisipasi atas asumsi sejarah.

Jangan heran, sedemikannya anak bangsa pribumi Nusantara dengan rasa nasionalisme yang membara. Tak kenal malu demi mempertahankan kursi sang juragan. Siap pasang badan, terjang lawan yang tampak lemah. Kepuasan mereka cukup sederhana, jika sudah menghasilkan bahasa tulis yang tampak patriotik, heroik. Semakin tahu diri, semakin tepuk dada. [HN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar