peng-inggih
vs mental mukiyo
Inggih-inggih mboten kepanggih, ungkapan berbahasa Jawa krama inggil. Menunjukkan kesetiaan
atau kesiapan ketika ditanya kesanggupan. Soal bisa atau tak bisa, urusan
belakang. Soal tahu atau tak tahu, jawabannya sama atau disamarkan. Bukan diplomatis
apalagi bahasa politik.
Bukan gambaran
atau sampel watak wong Jawa. Dibutuhkan jawaban tegas, antara ‘ya’ atau ‘tidak’,
cukup dengan mantuk-mantuk. Sambil berucap lirih:”Inggih . . . “ sambil kepala tertunduk menahan geli. Sikap
moderat atau cari aman, tapi sudah jamak.
Matinya
bahasa Jawa ‘ha na caraka’, ketika dipangku. Simbol bahasa sebagai simbol atau
karakter wong Jawa. Dipangku ibu Pertiwi, langsung lupa daratan, lali jiwa. Disuapi
dengan asupan nikmat dunia semakin setia sampai tujuh turunan, tujuh tanjakan,
tujuh tikungan. Semakin dapat kelinggihan,
semakin loyal, taat, patut, setia total kopral.
Hebatnya
lagi, mental peng-inggih bukan monopoli klas rakyat. Semua strata masyarakat
berhal yang sama. Tidak pandang jenis kelamin. Didominasi pemilik golongan
darah AB, AD, AA, H atau setipe lainnya. Nama orang, penggunaan huruf hidup
khususnya huruf hidupnya ‘ha na caraka’, teramat menyiratkan unggah-ungguh. Muncullah watak atau kawanan pe-inggih.
NKRI
masih kental dengan sistem feodal, kerajaan atau sebutan lainnya. Pasca Proklamasi
Kemerdekaan RI, status darah biru (bangsawan, ningrat) bergeser ke pengguna
gelar akademis. Karena gelar akademis, mudah didapat dan dijangkau, serta bukan
jaminan mutu. Sepertinya manusia politik yang sedang eksis, bernasib baik.
Ironis binti
miris. Itulah ikhwal di mana bumi dipijak, watak diri tak berubah. Tetap sesuai
bawaan lahir. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar