Halaman

Selasa, 13 November 2018

peng-inggih vs mental mukiyo


peng-inggih vs mental mukiyo

Inggih-inggih mboten kepanggih, ungkapan berbahasa Jawa krama inggil. Menunjukkan kesetiaan atau kesiapan ketika ditanya kesanggupan. Soal bisa atau tak bisa, urusan belakang. Soal tahu atau tak tahu, jawabannya sama atau disamarkan. Bukan diplomatis apalagi bahasa politik.

Bukan gambaran atau sampel watak wong Jawa. Dibutuhkan jawaban tegas, antara ‘ya’ atau ‘tidak’, cukup dengan mantuk-mantuk. Sambil berucap lirih:”Inggih . . . “ sambil kepala tertunduk menahan geli. Sikap moderat atau cari aman, tapi sudah jamak.

Matinya bahasa Jawa ‘ha na caraka’, ketika dipangku. Simbol bahasa sebagai simbol atau karakter wong Jawa. Dipangku ibu Pertiwi, langsung lupa daratan, lali jiwa. Disuapi dengan asupan nikmat dunia semakin setia sampai tujuh turunan, tujuh tanjakan, tujuh tikungan. Semakin dapat kelinggihan, semakin loyal, taat, patut, setia total kopral.

Hebatnya lagi, mental peng-inggih bukan monopoli klas rakyat. Semua strata masyarakat berhal yang sama. Tidak pandang jenis kelamin. Didominasi pemilik golongan darah AB, AD, AA, H atau setipe lainnya. Nama orang, penggunaan huruf hidup khususnya huruf hidupnya ‘ha na caraka’, teramat menyiratkan unggah-ungguh. Muncullah watak atau kawanan pe-inggih.

NKRI masih kental dengan sistem feodal, kerajaan atau sebutan lainnya. Pasca Proklamasi Kemerdekaan RI, status darah biru (bangsawan, ningrat) bergeser ke pengguna gelar akademis. Karena gelar akademis, mudah didapat dan dijangkau, serta bukan jaminan mutu. Sepertinya manusia politik yang sedang eksis, bernasib baik.

Ironis binti miris. Itulah ikhwal di mana bumi dipijak, watak diri tak berubah. Tetap sesuai bawaan lahir. [HN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar