alibi
generasi sedotan plastik Nusantara, cacat politik vs salah antrian
Budaya antri
memang bukan milik asli bangsa Nusantara. Pribumi totok terlahir mempunyai
watak dan rasa sabar, menerima keadaan tanpa keluh-kesah di atas rata-rata
nasional. Urusan nikmat dunia tak mau tengadah. Masing-masing sudah punya
kontrak nasib. Garis tangan pekerja keras beda dengan pemikir serius.
Laju peradaban
global menjadikan anak bangsa tertinggal di landasan dengan rasa bangga. Banyak
temannya. Seperti ketika terjadi banjir melanda lingkungan tempat tinggalnya.
Semakin banyak kawanan senasib, semangat berani mati semakin membara. Semakin
pilah pilih lawan tanding. Tentukan lokasi yang menguntungkan. Diuntungkan lagi
jika diliput langsung oleh awak media. Bukan sebagai berita besar.
Budaya instan
nyaris menimpa total semua lapisan rakyat. Tak pandang warna bulu dan asal-usul
trah ideologis. Pendidikan formal mencetak anak bangsa yang bertindak cepat,
berpikir kilat, berujar spontan. Tak pakai lama, tak perlu makan waktu untuk
berproses, berprosedur baku.
Minuman cepat
saji yang bisa dikantongi, menjadi gaya hidup. Kemasan botol aneka bentuk dan
isi. Agar semakin tampak beradab, minuman dituang langsung ke mulut. Menganga
tengadah. Bukan masalah adab minum. Apalagi minuman bermerk, berklas.
Minum sambil
kerja, memanfaatkan jasa sedotan plastik. Gelas plastik bukan sekedar hiasan
meja tamu, meja makan. Satu barang, aneka makna sesuai lokasi. Sedotan plastik,
sekali pakai untuk minuman gelas. Dibuat tidak gemulai, karena untuk mencoblos.
Warna-warni
sedotan plastik sebagai bukti bahan baku dari daur ulang. Sedotan mulai dikenal
untuk minum limun botol kaca. Masuk hotel berbintang lima. Bersanding dengan
tusuk gigi kemasan hotel. Mulut semakin dimanja atau diperalat sedotan.
Jelasnya,
semakin banyak partai politik bukan jaminan buka tutup mulut menjadi jaminan
mutu. Hukum keseimbangan alam, semakin berisi semakin tegak melambung. Kepala
membesar tapi tidak membatu. Jika kepala bisa menerobos lubang, dipastikan
pantat tak ketinggalan.
Ada tidaknya
kecerdasan ideologi pribumi totok terbaca pada pilihan. Yang berorientasi
kepada orang (bukan pengekor), jelas. Yang memperdulikan keutamaan sistem,
lebih sekedar jelas. Masalahnya, pemilu legislatif dan pilpres 17 April 2019,
memilih orang. Bukan juga.
Berarti,
kampanye pilpres yang super sibuk malah kawanan modal mulut dan ujung jari
tangan. Dibilang tak ada kaitannya
dengan substansif. Mencontoh kepala negara aktif yang gemar buka mulut
sembarang tempat. Yang dimaksud lebih gemar menangkis kata lawan daripada
menunjukkan prestasi diri sesuai bayaran, honor, gaji, bonus. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar