Halaman

Sabtu, 24 November 2018

alibi generasi sedotan plastik Nusantara, cacat politik vs salah antrian

alibi generasi sedotan plastik Nusantara, cacat politik vs salah antrian

Budaya antri memang bukan milik asli bangsa Nusantara. Pribumi totok terlahir mempunyai watak dan rasa sabar, menerima keadaan tanpa keluh-kesah di atas rata-rata nasional. Urusan nikmat dunia tak mau tengadah. Masing-masing sudah punya kontrak nasib. Garis tangan pekerja keras beda dengan pemikir serius.

Laju peradaban global menjadikan anak bangsa tertinggal di landasan dengan rasa bangga. Banyak temannya. Seperti ketika terjadi banjir melanda lingkungan tempat tinggalnya. Semakin banyak kawanan senasib, semangat berani mati semakin membara. Semakin pilah pilih lawan tanding. Tentukan lokasi yang menguntungkan. Diuntungkan lagi jika diliput langsung oleh awak media. Bukan sebagai berita besar.

Budaya instan nyaris menimpa total semua lapisan rakyat. Tak pandang warna bulu dan asal-usul trah ideologis. Pendidikan formal mencetak anak bangsa yang bertindak cepat, berpikir kilat, berujar spontan. Tak pakai lama, tak perlu makan waktu untuk berproses, berprosedur baku.

Minuman cepat saji yang bisa dikantongi, menjadi gaya hidup. Kemasan botol aneka bentuk dan isi. Agar semakin tampak beradab, minuman dituang langsung ke mulut. Menganga tengadah. Bukan masalah adab minum. Apalagi minuman bermerk, berklas.

Minum sambil kerja, memanfaatkan jasa sedotan plastik. Gelas plastik bukan sekedar hiasan meja tamu, meja makan. Satu barang, aneka makna sesuai lokasi. Sedotan plastik, sekali pakai untuk minuman gelas. Dibuat tidak gemulai, karena untuk mencoblos.

Warna-warni sedotan plastik sebagai bukti bahan baku dari daur ulang. Sedotan mulai dikenal untuk minum limun botol kaca. Masuk hotel berbintang lima. Bersanding dengan tusuk gigi kemasan hotel. Mulut semakin dimanja atau diperalat sedotan.

Jelasnya, semakin banyak partai politik bukan jaminan buka tutup mulut menjadi jaminan mutu. Hukum keseimbangan alam, semakin berisi semakin tegak melambung. Kepala membesar tapi tidak membatu. Jika kepala bisa menerobos lubang, dipastikan pantat tak ketinggalan.

Ada tidaknya kecerdasan ideologi pribumi totok terbaca pada pilihan. Yang berorientasi kepada orang (bukan pengekor), jelas. Yang memperdulikan keutamaan sistem, lebih sekedar jelas. Masalahnya, pemilu legislatif dan pilpres 17 April 2019, memilih orang. Bukan juga.

Berarti, kampanye pilpres yang super sibuk malah kawanan modal mulut dan ujung jari tangan. Dibilang tak ada kaitannya dengan substansif. Mencontoh kepala negara aktif yang gemar buka mulut sembarang tempat. Yang dimaksud lebih gemar menangkis kata lawan daripada menunjukkan prestasi diri sesuai bayaran, honor, gaji, bonus. [HN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar