dialéktika Persatuan Indonesia, apa boleh buat vs buat
apa boleh
Semakin direnungi makna
‘persatuan’ bisa masuk ranah dagang. Per satuan, beda dengan persatuan. Mosok
bangsa kita dilihat secara eceran. Per biji atau per orang. Bukan per satuan
ukuran berat, panjang, volume, luas.
Sebagai negara-bangsa, dalil
persatuan sangat dinamis. Mulai bentuk negara adalah NKRI. Jadi, apanya yang
menjadi ganjalan. Sedemikan tuah kata ‘persatuan’. Jangan sembarangan
memakainya. Per satuan apa yang paling kecil, minim, standar yang ada di
Nusantara.
Keberagaman, keanekaragaman, kemajemukan
tepatnya kebhinnekaan (pluralitas) atas dasar etnis, religi (agama/keyakinan)
dan linguistik (bahasa) menjadi PR besar bangsa.
Sebelum melangkah jauh yang serba
bak meraba dalam kegelapan diri. Kita buka khazanah diri dengan hati terbuka,
lapang dada.
Bukan kiranya lagi. Sejak
penjajahan Belanda, kelompok minoritas sudah eksis. Ikatan moral sebagai sesama
pedagang. Interaksi perkongsian, yang dipikirkan hanyalah yang serba profit oriented. Soal beda agama, ora opo-opo. Beda bahasa sampai huruf, abjad,
bukan hambatan.
Walhasil, asumsi sejarah semakin
meyakinkan bahwa kelompok minoritas di NKRI bukan yang lemah, miskin, bodoh.
Kalah jumlah tapi menang kaya, kuat, kuasa. Minimal dengan faktor kaya
finansial, keuangan, ekonomi mampu menjadikan anak bangsa pribumi, kaum bumiputera,
putra-putri asal daerah ini menjadi apa saja.
Kelompok minoritas dimaksud semakin
menunjukkan jati dirinya sebagai komponen bangsa yang mendominasi tatanan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara. Merahnya sang Merah-Putih
menjadi semakin merah.
Pasca reformasi yang dimulai dari
puncaknya, 21 Mei 1998, bukan sekedar mendapat tempat terhormat, memperoleh
peluang emas. Sebaliknya, mereka yang menentukan nasib bangsa Nusantara. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar