Halaman

Sabtu, 17 November 2018

dialéktika Persatuan Indonesia, apa boleh buat vs buat apa boleh


dialéktika Persatuan Indonesia, apa boleh buat vs buat apa boleh

Semakin direnungi makna ‘persatuan’ bisa masuk ranah dagang. Per satuan, beda dengan persatuan. Mosok bangsa kita dilihat secara eceran. Per biji atau per orang. Bukan per satuan ukuran berat, panjang, volume, luas.

Sebagai negara-bangsa, dalil persatuan sangat dinamis. Mulai bentuk negara adalah NKRI. Jadi, apanya yang menjadi ganjalan. Sedemikan tuah kata ‘persatuan’. Jangan sembarangan memakainya. Per satuan apa yang paling kecil, minim, standar yang ada di Nusantara.

Keberagaman, keanekaragaman, kemajemukan tepatnya kebhinnekaan (pluralitas) atas dasar etnis, religi (agama/keyakinan) dan linguistik (bahasa) menjadi PR besar bangsa.

Sebelum melangkah jauh yang serba bak meraba dalam kegelapan diri. Kita buka khazanah diri dengan hati terbuka, lapang dada.

Bukan kiranya lagi. Sejak penjajahan Belanda, kelompok minoritas sudah eksis. Ikatan moral sebagai sesama pedagang. Interaksi perkongsian, yang dipikirkan hanyalah yang serba profit oriented. Soal beda agama, ora opo-opo. Beda bahasa sampai huruf, abjad, bukan hambatan.

Walhasil, asumsi sejarah semakin meyakinkan bahwa kelompok minoritas di NKRI bukan yang lemah, miskin, bodoh. Kalah jumlah tapi menang kaya, kuat, kuasa. Minimal dengan faktor kaya finansial, keuangan, ekonomi mampu menjadikan anak bangsa pribumi, kaum bumiputera, putra-putri asal daerah ini menjadi apa saja.

Kelompok minoritas dimaksud semakin menunjukkan jati dirinya sebagai komponen bangsa yang mendominasi tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara. Merahnya sang Merah-Putih menjadi semakin merah.

Pasca reformasi yang dimulai dari puncaknya, 21 Mei 1998, bukan sekedar mendapat tempat terhormat, memperoleh peluang emas. Sebaliknya, mereka yang menentukan nasib bangsa Nusantara. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar