Halaman

Jumat, 23 November 2018

menurunkan martabat bangsa vs merendahkan wibawa negara vs melunturkan derajat penguasa


menurunkan martabat bangsa vs merendahkan wibawa negara vs melunturkan derajat penguasa

Seolah ada hubungan diplomatis. Dinamis semi ironis. Namanya judul olahkata. Semakin diotak-atik, otak kita semakin beku. Kalau sudah begini, berabé. Dibilang 3 (tiga) serangkai, masih ada yang ketinggalan yaitu ‘masyarakat’. Terkait kaidah resmi di UUD NRI 1945 yaitu: bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Atau sekedar cuplikan, yang utuhnya atau aselinya entah bagaimana. Kalimat aktif dengan nada negatif. Bisa saja merupakan kampanye politik di tahun 2014 oleh pihak yang berkuasa sekarang. Disinyalir ikhwal tersebut akan terjadi. Tinggal dicarikan kambing hitamnya, biang keroknya atau pihak yang patut dipersalahkan.

Episode 2014-2019 penuh dengan dagelan politik klas jalanan. Lebih bagus ketimbang demokrasi jalanan. Ujaran bebas meluncur tanpa kendali dari mulut petugas partai. Tak terhitung, ujaran bak kentut dari oknum loyalis penguasa. Saking lucunya, sampai-sampai stok watak yang ada di dunia pewayangan, ludes sebelum tampil.

Sejarah semakin membuktikan, politisi sipil kehilangan roh kebangsaan. Politik terbuka sedia, sigap, siap, siaga menampung semua potensi dan komponen masyarakat. Utamakan asas taat dan patuh serta loyalitas tanpa pikir. Asal menguntungkan perusahaan parpol, tetap akan dipakai.

Populasi rakyat miskin atau rakyat yang kurang beruntung sudah berkurang drastis. Utang luar negeri buat apa lagi. Bangunlah jiwanya . . .

Kembali ke pakem. Masih dalam suasana kebatinan ki dalang Bloko Suto, sebut saja pasal si gèdhèg lan si anthuk = wong loro kang wis padha kangsèn tumindak ala bebarengan. Peribahasa ini mengingatkan kita akan skenario di pilpres 2019 yang merupakan kelanjutan dari kisah sukses pilkada DKI Jakarta 2012.

Kita bersyukur, masih ada sentimen positif yang membangkitkan semangat kerakyatan, untuk tetap utuh. Konflik, gesekan, friksi akibat syahwat politik di luar batas kewajaran, sudah menjadi senjata makan tuan.

Anak bangsa pribumi, dengan daya primitif maupun aksi primadonanya, mencibir SBY yang dua periode berturut-turut, dianggap jeblok. Namun kekerdilan jiwa akibat akrab dengan nikmat dunia, dengan gagah menyodorkan Jokowi untuk maju ke periode kedua. Didukung nama besar ulama istana. [HN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar