tulislah
apa yang tidak kau katakan
Bahasa
menunjukkan bangsa. Di Indonesia, bahasa tidak sekedar menunjukkan asupan gizi.
Kondisi tertentu, bahasa menunjukkan kadar dan sadar politik. Jelas beda antara
melek politik dengan cerdas ideologi.
Meluncurnya kata
indah dari mulut petugas partai, semakin membuktikan bahwa bahasa menunjukkan
kadar politik. Sisi lain menyiratkan bahwa berpolitik tidak perlu pakai teori
yang rumit bin sulit. Apalagi mempraktikkan ilmu politik yang berjenjang.
Pengalaman adalah
sebagai guru. Kita tidak harus mengalami sendiri suatu kasus, kejadian perkara.
Bisa belajar dari pengalaman orang lain. Belajar hal yang baik, lihat ke bawah.
Belajar ikhwal yang jauh dari tata nilai baik dan benar, tengadah jelas ke
atas.
Narasi pembuka,
rasanya belum menyentuh judul seutuhnya.
Salah. Tak langsung
menyiratkan bahwa untuk berbahasa yang baik, benar, bagus tak segampang,
seikhlas teorinya. Seorang ahli bahasa mampu menelurkan aneka pendapat.
Bakda
bergulirnya reformasi mulai dari puncaknya, 21 Mei 1998. Terlahirlah generasi
Nusantara yang pilih gelanggang, pilah lawan tanding. Generasi yang mahir
menggunakan diplomasi atau daya mulut untuk berjuang melawan dirinya. Generasi
yang ahli mendayagunakan tangan, ujung jari untuk membuat kalimat, rangkaian
kata yang mampu menjebak, menjerat diri sendiri. Tentu sebagai hal yang kita
hindari sejak dini.
Akankah aneka
ujaran penguasa dan atau loyalis yang terserap bebas oleh mata dan atau
telinga, akan memacu, memicu kinerja otak sampai overkapasitas. Pola illegal
ini didaulat sebagai stimulan. Maksudnya, si pembuat ujaran dan atau tulisan,
kinerja otaknya bak kuda liar. Timbul rasa nasionalisme yang mengglobal, energi
menjadi berlipat, rasa curiga tanpa alasan menjadi sensitif, interaksi dengan
orang lain hanya merasa bahwa dirinyalah yang benar, baik, bagus.
Kinerja otak
kanan akan menuntut tangan untuk menulis sesuai kaidah moral. Lambat menjawab
bukan menunjukkan daya pikir encer. Semakin berproses di otak kanan, hasil,
keluarannya menjadi gado-gado. Bukan dinamis, bukan diplomatis.
Terbiasa mufakat
dengan hasil kinerja otak kiri, tampak serba praktis, pasti dan tidak multitafsir.
Kemampuan memanipulasi diri diwujudkan dengan aneka ujaran, serba cuapan, multi
ucapan.
Pengguna aktif
otak kanan, terarah, fokus untuk berbahasa tulis sesuai kaidah moral. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar