Halaman

Jumat, 23 November 2018

tulislah apa yang tidak kau katakan


tulislah apa yang tidak kau katakan

Bahasa menunjukkan bangsa. Di Indonesia, bahasa tidak sekedar menunjukkan asupan gizi. Kondisi tertentu, bahasa menunjukkan kadar dan sadar politik. Jelas beda antara melek politik dengan cerdas ideologi.

Meluncurnya kata indah dari mulut petugas partai, semakin membuktikan bahwa bahasa menunjukkan kadar politik. Sisi lain menyiratkan bahwa berpolitik tidak perlu pakai teori yang rumit bin sulit. Apalagi mempraktikkan ilmu politik yang berjenjang.

Pengalaman adalah sebagai guru. Kita tidak harus mengalami sendiri suatu kasus, kejadian perkara. Bisa belajar dari pengalaman orang lain. Belajar hal yang baik, lihat ke bawah. Belajar ikhwal yang jauh dari tata nilai baik dan benar, tengadah jelas ke atas.

Narasi pembuka, rasanya belum menyentuh judul seutuhnya.

Salah. Tak langsung menyiratkan bahwa untuk berbahasa yang baik, benar, bagus tak segampang, seikhlas teorinya. Seorang ahli bahasa mampu menelurkan aneka pendapat.

Bakda bergulirnya reformasi mulai dari puncaknya, 21 Mei 1998. Terlahirlah generasi Nusantara yang pilih gelanggang, pilah lawan tanding. Generasi yang mahir menggunakan diplomasi atau daya mulut untuk berjuang melawan dirinya. Generasi yang ahli mendayagunakan tangan, ujung jari untuk membuat kalimat, rangkaian kata yang mampu menjebak, menjerat diri sendiri. Tentu sebagai hal yang kita hindari sejak dini.

Akankah aneka ujaran penguasa dan atau loyalis yang terserap bebas oleh mata dan atau telinga, akan memacu, memicu kinerja otak sampai overkapasitas. Pola illegal ini didaulat sebagai stimulan. Maksudnya, si pembuat ujaran dan atau tulisan, kinerja otaknya bak kuda liar. Timbul rasa nasionalisme yang mengglobal, energi menjadi berlipat, rasa curiga tanpa alasan menjadi sensitif, interaksi dengan orang lain hanya merasa bahwa dirinyalah yang benar, baik, bagus.

Kinerja otak kanan akan menuntut tangan untuk menulis sesuai kaidah moral. Lambat menjawab bukan menunjukkan daya pikir encer. Semakin berproses di otak kanan, hasil, keluarannya menjadi gado-gado. Bukan dinamis, bukan diplomatis.

Terbiasa mufakat dengan hasil kinerja otak kiri, tampak serba praktis, pasti dan tidak multitafsir. Kemampuan memanipulasi diri diwujudkan dengan aneka ujaran, serba cuapan, multi ucapan.

Pengguna aktif otak kanan, terarah, fokus untuk berbahasa tulis sesuai kaidah moral. [HN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar