Halaman

Sabtu, 17 November 2018

Indonesia tidak mengenal demokrasi politik


Indonesia tidak mengenal demokrasi politik

Berkat Perubahan Keempat UUD NRI Tahun 1945, menghasilkan tambahan pada Pasal 33, tepatnya berupa ayat (4):
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Lebih dari seribu fakta atau alasan bahwasanya perlu dicantumkan istilah demokrasi ekonomi. Bukan pesanan dari manusia ekonomi yang pada praktiknya menguasai dan menentukan kinerja manusia politik. Kalau murni inisiatif manusia politik, apa boleh buat. Bukan buat apa boleh.

Kita bersyukur apa adanya, karena tidak ada pasal kejahatan politik. Wujud intimidasi politik dikarenakan aspek kontitusi memang tidak pandang warna bulu. Soal jika ternyata aneka kejahatan berbasis modus gerakan politik, anggap sebagai pasal kriminal ringan. Kejahatan politi lebih mulia dibanding gerakan teroris, penyalahgunaan narkoba.

Bahwa perseteruan dan/atau benturan antarkelompok masyarakat dapat menimbulkan konflik sosial yang mengakibatkan terganggunya stabilitas nasional dan terhambatnya pembangunan nasional.

Pertimbangan awal di atas, mengarah ke penetapan UU RI 7/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Ada apa atau apanya yang terkait dengan ikhwal politik. Kita simak cermat pada:

Pasal 5
Konflik dapat bersumber dari:
a.       permasalahan yang berkaitan dengan politik, ekonomi, dan sosial budaya;
b.      perseteruan antarumat beragama dan/atau interumat beragama, antarsuku, dan antaretnis;
c.       sengketa batas wilayah desa, kabupaten/kota, dan/atau provinsi;
d.      sengketa sumber daya alam antarmasyarakat dan/atau antarmasyarakat dengan pelaku usaha; atau
e.       distribusi sumber daya alam yang tidak seimbang dalam masyarakat.

Tidak ada unsur kesengajaan, rekayasa, manipulasi jika ayat a. memposisikan kata ‘politik’ ada di depan.

Kata ahlinya, demokrasi terkait dengan praktik politik. Maka dari itu, lema ‘politik’ muncul di UUD RI Tahun 1945 berkat perubahan Kedua, Ketiga dan Keempat.

Sejarah membuktikan bahwa sumber, biang kerok konflik politik karena adanya koalisi partai politik pro-pemerintah dengan lawan politik atau pihak yang berseberangan. Di tingkat akar rumput, masih terasa suasana adem ayem.

Apapun kelakuan petugas partai dengan kawanannya, loyalisnya, maka ikhwal permasalahan yang berkaitan dengan politik, selama masih konstitusional tidak bisa diganggu gugat. Produk kebijakan yang seolah pro-rakyat yang mana dimana saat praktiknya mengalami bias, tidak bisa dipidanakan. [HN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar