Indonesia
tidak mengenal demokrasi politik
Berkat Perubahan Keempat UUD NRI Tahun 1945,
menghasilkan tambahan pada Pasal 33, tepatnya berupa ayat (4):
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Lebih dari seribu fakta atau alasan bahwasanya
perlu dicantumkan istilah demokrasi ekonomi. Bukan pesanan dari manusia ekonomi yang pada praktiknya
menguasai dan menentukan kinerja manusia politik. Kalau murni inisiatif manusia
politik, apa boleh buat. Bukan buat apa boleh.
Kita bersyukur apa adanya, karena tidak ada pasal
kejahatan politik. Wujud intimidasi politik dikarenakan aspek kontitusi memang
tidak pandang warna bulu. Soal jika ternyata aneka kejahatan berbasis modus
gerakan politik, anggap sebagai pasal kriminal ringan. Kejahatan politi lebih
mulia dibanding gerakan teroris, penyalahgunaan narkoba.
Bahwa perseteruan dan/atau benturan antarkelompok
masyarakat dapat menimbulkan konflik sosial yang mengakibatkan terganggunya
stabilitas nasional dan terhambatnya pembangunan nasional.
Pertimbangan awal di atas, mengarah ke penetapan UU
RI 7/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Ada apa atau apanya yang terkait
dengan ikhwal politik. Kita simak cermat pada:
Pasal 5
Konflik dapat bersumber
dari:
a.
permasalahan yang berkaitan dengan politik, ekonomi, dan
sosial budaya;
b.
perseteruan antarumat beragama dan/atau interumat
beragama, antarsuku, dan antaretnis;
c.
sengketa batas wilayah desa, kabupaten/kota, dan/atau
provinsi;
d.
sengketa sumber daya alam antarmasyarakat dan/atau
antarmasyarakat dengan pelaku usaha; atau
e.
distribusi sumber daya alam yang tidak seimbang dalam
masyarakat.
Tidak ada unsur kesengajaan, rekayasa, manipulasi
jika ayat a. memposisikan kata ‘politik’ ada di depan.
Kata ahlinya, demokrasi terkait dengan praktik
politik. Maka dari itu, lema ‘politik’ muncul di UUD RI Tahun 1945 berkat
perubahan Kedua, Ketiga dan Keempat.
Sejarah membuktikan bahwa sumber, biang kerok
konflik politik karena adanya koalisi partai politik pro-pemerintah dengan
lawan politik atau pihak yang berseberangan. Di tingkat akar rumput, masih
terasa suasana adem ayem.
Apapun kelakuan petugas partai dengan kawanannya,
loyalisnya, maka ikhwal permasalahan yang berkaitan dengan politik, selama
masih konstitusional tidak bisa diganggu gugat. Produk kebijakan yang seolah
pro-rakyat yang mana dimana saat praktiknya mengalami bias, tidak bisa
dipidanakan. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar