Halaman

Senin, 12 November 2018

daya utang negara vs daya belanja masyarakat


daya utang negara vs daya belanja masyarakat

Tengah malam, pas matahari di ujung lain poros bumi. Santai sejenak jelang beradu, temani petugas jaga malam. Ternyata kehidupan belum reda. Ganti acara dan pemain. Selalu terjadi jika saya ada niat dan waktu luang untuk perihal yang tak jauh beda.

Jika tampak di gardu jaga, ada kerumunan warga, langsung ikut berdiri. Diawali dengan salaman. Maklum banyak petua, minimal yang pernah jadi pemuda. Bicara santai tapi ringan jika ada pejabat teras RT. Ketua RT yang masih aktif sebagai ASN.

Kembali ke niatan mengolah kata. Masih saja premotor maupun mobil yang liwat, masuk atau pulang. Salah banyaknya adalah jasa angkutan orang dan atau barang. Warga ingin minum saja pesan secara online. Atau asupan gizi penghangat badan. Pulang kerja malam atau lembur, hal biasa.

Pola belanja pesan antar, tentu ada pihak yang diuntungkan secara ekonomis. Pihak yang tak sepihak, merasa dirugikan. Karena tak menyangkut nama baik, harga diri, wibawa negara maka tak ada pihak yang ajukan mosi. Kehidupan di masyarakat berjalan aman-aman saja. Kalau ada gesekan, biasanya soal ketaksengajaan yang berulang.

Penjaja makanan yang spesial keluar malam, tetap setia keliling lingkungan. Dilengkapi dengan media online. Bisa dipanggil atau menerima porsi pesanan partai keluarga. Fleksibel, termasuk ikut nongkrong dan nangkring dengan warga yang susah tidur.

Sejalan dengan waktu subuh, sudah ada toko non-tradisional yang sudah siap. Memang di jalan tersebut, warung buka 24 jam. Kehidupan ekonomi rakyat papan bawah tak pernah mati suri. Pedagang B3 (barang bekas berkualitas) pun mengalami regenerasi. Tak mau kalah gengsi, adalah profesi pemulung, tukang parkir yang diwariskan.

Di atas kertas, perputaran uang di tangan rakyat, nyaris tak ada hentinya. Mengikuti jalur, sesuai falsafah air, ada gula ada semut. Uang logam 500 Rp masih berharga di tangan pengatur lalu lintas. Lokasinya malah menjadi ajang perebutan.

Skala negara, perputaran uang di dasar negara, di pasar rakyat, tak menambah gengsi. Oleh sebab itu perlu putaran uang arus atas, untuk mendongkrak wibawa negara. Yang mana, di mana akan mampu menenggelamkan Nusantara dalam tumpukan ULN. [HN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar