Indonesia
tenan, asal kepala bisa mbrobos maka pantat
Memakai
bahasa gado-gado, Indonesia dan Jawa. Pembaca tanpa kacamata sudah lebih tahu
daripada penulis. Malah dianggap kecil bagi dianya. Begitu saja koq ditulis. Pengalaman
pembaca yang budiman, punya pengalaman tak mengenakkan soal mbrobos pager.
Penyeberang
jalan yang malas menggunakan JPO, pilih mbrobos pagar batas median jalan. Masuk berita media
massa. Kejadian aneh yang selalu berulang. Kalau tidak bisa mbrobos pakai jurus
loncat pagar. Kepala bisa kesangkut, kejepit di sela jeruji atau bilah pagar
Sebutan,
predikat bagaimana pun bagi generasi sisa zaman peradaban politik Nusantara,
tak akan mendongkrak wibawa ybs. Generasi tanpa nama. Modal utamanya, asal bisa
saran sumbang atau bisa sumbang saran asal. Tak jemu penulis bilang generasi
macam habis pakai, mengalami degradasi segala bidang sejak dini.
Kecerdasan
alami mereka bersifat spontan, reaktif. Mulai yang “tak pakai lama vs tidak
perlu mikir” sampai “daya dong rendah vs telat mikir”. Salah kawan. Justru daya
dong mereka jauh di atas rata-rata nasional. Belum disuruh sudah berbuat. Belum
diminta sudah memberi. Belum ditanya sudah menjawab. Pokoknya serba
belum-belum.
Pembaca
tersanjung. Soalnya kalau tikus kepala hitam, sudah kodratnya jika kepala bisa
masuk lubang maka dipastikan badan langsung mengikuti. Apalagi ekor. Dimodifikasi
menjadi singkatan KUD atau ketua, kepala untung duluan. Tidak berlaku pada
seekor ikan yang mana pembusukan dimulai dari kepala.
Masih ingat
kisah lelang internasional. Otak manusia dan atau orang Indonesia laku
terkeras. Jarang dipakai, masih ori. Tidak tahu pasti, apakah sang kepala
menjadi kepala besar atau besar kepala.
Dikisahkan
tanpa skenario. Jika serba aneka ujaran dan atau aneka reka kerajjinan tangan
generasi dimaksud mampu mbrobos tatanan moral Nusantara. Dipastikan produk atau
olahan pantat termuliakan. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar