angkat Indonesia, walau dengan energi satu sendok nasi
Memanjangnya Nusantara di
khatulistiwa, bukan tanpa sebab maupun akibat. Ulah tindak manusia dan atau
orang pribumi dengan seabreg kecerdasannya, dua musim yang menyapa seolah pilih
waktu. Sudah tidak sesuai pakem ilmu falak. Ilmu musim, pranata mangsa.
Masyarakat Jawa meyakini secara terwariskan,
jika masuk bulan berakhiran ‘mber’, artinya gedhé-gedhéné sumber. Masuk musim penghujan. Merata,
menerus dan tak kenal siang maupun malam. Semua rakyat mendapat jatah yang
sama.
Masih banyak putra-putri terdidik
yang memandang hujan sebagai gangguan alam. Tak rela jika tanah pekarangan
digenanginya. Lupa dengan rumus hidup: tanah-air. Dua unsur alam yang tak bisa
dipisahkan dengan dalih apapun, dalil manapun.
Akhirnya pemeo bisanya memakai, tidak bisa
memelihara, semakin melegenda. Nalarnya berujar ringan, cuma saya yang buang sampah
sembarang tempat. Yang lain tidak, tidak apa-apa. Tidak masalah. Negara tidak
dirugikan. Jika adat ini menjadi hak milik semua rakyat, apa kata dunia.
Sedemikan masif rakyat injak-injak
bumi, bumi semakin ambles. Air laut bebas masuk ke darat tanpa visa dan
karantina. Rasa air laut bisa dirasakan penghuni jauh dari pantai.
Berpikir positif, masih banyak anak
negeri yang peduli. Bukan dengan menabur dan menebar sampah. Mengkibarkan bendera
merah putih di negeri sendiri, di ajang laga olahraga misalnya. Bukan menistakan
bangsa melalui ujaran sampah di medsos.
Memakai bahasa diri, mengajukan
tuntutan ke langit agar bangsa ini tetap eksis sepanjang masa. Berharap persatuan
dan keutuhan bangsa tak lekang oleh musim yang salah musim. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar