Halaman

Senin, 12 November 2018

angkat Indonesia, walau dengan energi satu sendok nasi


angkat Indonesia, walau dengan energi satu sendok nasi

Memanjangnya Nusantara di khatulistiwa, bukan tanpa sebab maupun akibat. Ulah tindak manusia dan atau orang pribumi dengan seabreg kecerdasannya, dua musim yang menyapa seolah pilih waktu. Sudah tidak sesuai pakem ilmu falak. Ilmu musim, pranata mangsa.

Masyarakat Jawa meyakini secara terwariskan, jika masuk bulan berakhiran ‘mber’, artinya gedhé-gedhéné sumber. Masuk musim penghujan. Merata, menerus dan tak kenal siang maupun malam. Semua rakyat mendapat jatah yang sama.

Masih banyak putra-putri terdidik yang memandang hujan sebagai gangguan alam. Tak rela jika tanah pekarangan digenanginya. Lupa dengan rumus hidup: tanah-air. Dua unsur alam yang tak bisa dipisahkan dengan dalih apapun, dalil manapun.

Akhirnya pemeo bisanya memakai, tidak bisa memelihara, semakin melegenda. Nalarnya berujar ringan, cuma saya yang buang sampah sembarang tempat. Yang lain tidak, tidak apa-apa. Tidak masalah. Negara tidak dirugikan. Jika adat ini menjadi hak milik semua rakyat, apa kata dunia.

Sedemikan masif rakyat injak-injak bumi, bumi semakin ambles. Air laut bebas masuk ke darat tanpa visa dan karantina. Rasa air laut bisa dirasakan penghuni jauh dari pantai.

Berpikir positif, masih banyak anak negeri yang peduli. Bukan dengan menabur dan menebar sampah. Mengkibarkan bendera merah putih di negeri sendiri, di ajang laga olahraga misalnya. Bukan menistakan bangsa melalui ujaran sampah di medsos.

Memakai bahasa diri, mengajukan tuntutan ke langit agar bangsa ini tetap eksis sepanjang masa. Berharap persatuan dan keutuhan bangsa tak lekang oleh musim yang salah musim. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar