daya saing mbokdé mukiyo dudu gaya siang
Selalu ada peluang di tengah dinamika perekonomian
global. Namun, peluang untuk meningkatkan ekspor dan memperkuat industri baru
bisa dimanfaatkan jika daya saing sumber daya manusia diperbaiki dan sistem
perizinan tak lagi rumit. (sumber: kompas, rabu, 28 november 2018).
Modal alenia di atas. Anggap sebagai kesimpulan
umum. Atau alt kedua adalah sebagai fakta lapangan untuk merasuk lebih dalam.
Masalah ekonomi yang rasanya tak sepenuhnya memakai bahasa ekonomi. Nyaman di mata
dan mudah dicerna nalar manusia non-ekonomi, pelaku non-ekonomi.
Lema baru, dalam, pada, tengah memiliki lebih dari
satu makna. Kalimat yang tersusun bisa bias. Wajar jika alenia pertama terasa
janggal atau malah yang terjadi adalah sebaliknya. Gado-gado atau malah tanpa
nama. Diplomatis bikin meringis.
Bahasa ya bahasa tapi ingat bahasa. Coba cerna
kalimat “memperkuat industri baru bisa dimanfaatkan”. Asosiasi atau anggapan
umum “industri baru”. Tidak. Pakai kalimat “memperkuat industri dapat
dimanfaatkan setelah daya saing SDM”.
Tergantung SDM. Sebaliknya yang terjadi. Dua kata
kuncinya, ekonomi lokal, impor. Praktik kebijakan yang terjadi selama 2014-2019
adalah impor. Demi dan atau atas nama perut rakyat Nusantara. Oleh sebab ini,
kran impor dibuka bebas, kucur deras. Mengimbangi pasar bebas dunia. Menimpali aksi
nyata masyarakat ekonomi ASEAN.
Ketahanan perut rakyat yang terbiasa makan nasi dan
sehari 3x. Soal 4 sehat 5 sempurna, bagaimana isi perut menjawabnya. Masyarakat
awam di pinggir kota, tak mau tahu modus izin impor. Tahu-tahu tempe bahan
bakunya dari hasil kerja keras petani negara lain. Kedelai impor diyakini
mendongkrak mental bangsa témpé.
Méntal témpé menjadi karakter politik penguasa. Dominasi
gaya mendoan, modus bongkrék, profil gembus. Tapi tetap eksis nangkring dan
nongkrong tanpa merasa bersalah. Yang salah jelas rakyat yang menggunakan hak
pilihnya. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar