Halaman

Jumat, 30 November 2018

daya saing mbokdé mukiyo dudu gaya siang


daya saing mbokdé mukiyo dudu gaya siang

Selalu ada peluang di tengah dinamika perekonomian global. Namun, peluang untuk meningkatkan ekspor dan memperkuat industri baru bisa dimanfaatkan jika daya saing sumber daya manusia diperbaiki dan sistem perizinan tak lagi rumit. (sumber: kompas, rabu, 28 november 2018).

Modal alenia di atas. Anggap sebagai kesimpulan umum. Atau alt kedua adalah sebagai fakta lapangan untuk merasuk lebih dalam. Masalah ekonomi yang rasanya tak sepenuhnya memakai bahasa ekonomi. Nyaman di mata dan mudah dicerna nalar manusia non-ekonomi, pelaku non-ekonomi.

Lema baru, dalam, pada, tengah memiliki lebih dari satu makna. Kalimat yang tersusun bisa bias. Wajar jika alenia pertama terasa janggal atau malah yang terjadi adalah sebaliknya. Gado-gado atau malah tanpa nama. Diplomatis bikin meringis.

Bahasa ya bahasa tapi ingat bahasa. Coba cerna kalimat “memperkuat industri baru bisa dimanfaatkan”. Asosiasi atau anggapan umum “industri baru”. Tidak. Pakai kalimat “memperkuat industri dapat dimanfaatkan setelah daya saing SDM”.

Tergantung SDM. Sebaliknya yang terjadi. Dua kata kuncinya, ekonomi lokal, impor. Praktik kebijakan yang terjadi selama 2014-2019 adalah impor. Demi dan atau atas nama perut rakyat Nusantara. Oleh sebab ini, kran impor dibuka bebas, kucur deras. Mengimbangi pasar bebas dunia. Menimpali aksi nyata masyarakat ekonomi ASEAN.

Ketahanan perut rakyat yang terbiasa makan nasi dan sehari 3x. Soal 4 sehat 5 sempurna, bagaimana isi perut menjawabnya. Masyarakat awam di pinggir kota, tak mau tahu modus izin impor. Tahu-tahu tempe bahan bakunya dari hasil kerja keras petani negara lain. Kedelai impor diyakini mendongkrak mental bangsa témpé.

Méntal témpé menjadi karakter politik penguasa. Dominasi gaya mendoan, modus bongkrék, profil gembus. Tapi tetap eksis nangkring dan nongkrong tanpa merasa bersalah. Yang salah jelas rakyat yang menggunakan hak pilihnya. [HaéN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar