Halaman

Sabtu, 17 November 2018

modus demokrasi Nusantara, orong-orong kepidak vs kucing kawin


modus demokrasi Nusantara, orong-orong kepidak vs kucing kawin

Mengacu pada Perubahan Keempat UUD NRI Tahun 1945 pada Pasal 33 ayat (4), dengan pola substitusi ‘ekonomi’ menjadi ‘politik’, dihasilkan: Perpolitikan nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi politik dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan politik nasional.

Praktik demokrasi yang menghasilkan dalil: kedaulatan ada di tangan pemenang pesta demokrasi, sesuai asas “pemenang memperoleh segalanya”,  pemenang yang mengambil semua hasil, mendominasi jabatan politik utawa “winner-take-all”, bukan tanpa efek domino. Diperkuat dengan tindak laku garang garing penyelenggara negara yang untuk membuktikan kadar loyalitasnya, sekaligus pasang badan, unjuk gigi. 

Artinya, juara umum pesta demokrasi akan memperoleh keuntungan yang meliputi banyak hal di bidang politik dan ekonomi.

Kucuplik dengan cara copas dari LAPORAN DARI KOMISI GLOBAL UNTUK PEMILIHAN UMUM, DEMOKRASI DAN KEAMANAN. September 2012, halaman 69:
Pemerintahan demokratis, organisasi regional dan organisasi internasional harus mempertahankan pemilu yang berintegritas sebelum pemilu diselenggarakan. Untuk melakukannya, mereka harus lebih proaktif dan terlibat sepanjang siklus pemilu bagi negara-negara dengan pemilu yang bermasalah. Jika mediasi diperlukan, maka harus dilakukan jauh sebelum pemungutan suara berlangsung, dan ditujukan untuk memastikan bahwa dalam masyarakat yang terbelah, pemilihan tidak memberikan jalan bagi “winner-take-all”/pemenang yang mendapatkan seluruh keuntungan dari hasil pemilu. Tindak lanjut seharusnya tidak hanya berfokus pada peningkatan teknis pemilu tetapi harus berupaya membuka dialog dan partisipasi masyarakat yang diperlukan untuk proses politik demokratis, yang diperlukan dan berfungsi untuk menghasilkan oleh pemilu berintegritas.

Singkat kata, di pilpres 2019, Indonesia wajib menemukan sosok  baru figur anyar presiden ke-8. Karena terbukti di periode 2014-2019 terjadilah jati ketlusuban ruyung = kumpulané wong becik kelebon wong ala.

Kalkulasi politik sudah membuktikan bahwa asas “noto negoro” tak berlaku untuk menerawang syarat utama bakal calon presiden dan/atau wakil presiden.

Masyarakat sudah tak berharap datangnya Satria Piningit. Karena banyak pihak merasa dapat wangsit. Sudah tak peduli dengan wahyu akan jatuh di tangan siapa. Karena di zaman now ini, “wong ala” adalah mereka yang kuasa, kuat, kaya.

Sekedar mengingatkan. Bahwasanya UU 20/2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan. Tersedia  Tanda Kehormatan Bintang sipil terdiri atas a.l Bintang Penegak Demokrasi. Simak syarat khusus untuk memperolehnya, tersurat di:

Pasal 28
(5)         Syarat khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf b untuk Bintang Penegak Demokrasi terdiri atas:
a.       berjasa besar di suatu bidang yang bermanfaat bagi tegaknya prinsip kerakyatan, kebangsaan, kenegaraan, dan pembangunan hukum nasional;
b.      pengabdian dan pengorbanannya di bidang demokrasi, politik, dan legislasi berguna bagi bangsa dan negara; dan/atau
c.       darmabakti dan jasanya diakui secara luas di tingkat nasional.

Latar belakangnya adalah karena sebagai manifestasi semangat reformasi yang karakteristiknya dicirikan dengan penghormatan tinggi atas hak asasi manusia dan penegakan demokrasi, maka ditambahkan 2 (dua) jenis bintang sipil, yaitu Bintang Kemanusiaan dan Bintang Penegak Demokrasi. [HN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar