generasi celupan terbalik
Syukur, jika ternyata pribumi bumiputra nusantara berketurunan tidak menyandang rasa, sifat, watak katagélofobia (kata kamus, n Psi fobia ditertawakan). Tetapi bukan berarti ada niatan jadi pelawak atau tokoh umum yang ahli memancing tawa pihak lawan, lain pilihan. Tawa penggemar melebihi aplaus. Oleh karena itu bagaimana merawat plus meruwat tubuh, ekspresi wajah dan bukaan bebas ujaran.
Fobia atau alergi terhadap pihak yang mentertawakan dirinya karena patut diduga selaku cara ringan mulut, tanpa kata, untuk merendahkan dirinya. Menghina dirinya yang serta merta citra, pesona, martabat diri merosot hingga sampai pada ambang bawah. Susah untuk mendongkrak agar normal, pulih seperti posisi semula.
Kejadian yang rutin terjadi yang dianggap manusiawi berkebangsaan. Yaitu begitu bangga dengan atribut, lambang, simbol terkait berikat dengan berhala reformasi 3K (kuasa, kuat, kaya). Semua dibagi rata habis ke sistem multipartai. Generasi pewaris masa depan harus pandai-pandai diri cari pegangan hidup. Posisi aman kalau tidak ada gantungan, gelayutan rawan, rentan, riskan tergusur, tergeser atau tergencet setiap saat.
Sedemikian bangga dengan lambang, merk, kemasan bernilai jual di atas rata-rata supernasional. Seperti pengalaman main serap budaya asing yang tampak atraktif, provokatif dan global banget. Produk lokal dengan nama diplesetkan mirip asing, pakai logo mirip asing. Ora ngindonesiani. Saking fanatik politik maka ujaran ajaran bebas oknum ketua umum menjadi pedoman hidup. Nglothok luar kepala.
Akhirnya ibarat teh celup. Merk menjadi idola hidup-hidup. Dicelupkan ke air mendidih. Khasiat rendaman “logo partai”, dirasakan setelah diteguk habis. Bau uap saja sudah membarakan semangat juang. Sigap diri 24 jm menjadi relawan prabayar literasi politik digital. Dikira taat asas protokol kenegaraan. Bukan rabun politik. Merasa diri penting menjadi pelengkap penderita multipihak yang berkepentingan. Aku banget. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar