#nusantara berpancasila, arus balik aksi bebas sanksi radikalisasi biaya politik
Pengalaman menyuratkan plus menyiratkan. Saat kampanye pesta demokrasi sarat pasal propaganda, provokasi, promosi. Politisi sipil atau mantan alat negara, dengan watak asli, orisinal, tulen politiknya memperagakan diri bak pelayan setia. Sigap melayani rakyat. Pasca ambil sumpah atau janji, langsung balik adab. Tak pakai lama, otomatis memposisikan diri selaku bandar, penguasa tunggal, majikan, tuan besar, juragan yang seolah merasa sebagai penentu nasib pemilihnya.
Berpolitik sama saja sebagai berdagang, jual beli suara. Tidak mau rugi sendiri sebagai pasal utama yang wajib dilanggengkan, dilestarikan, dimuliakan. Konon, fitnah politik yang sebagai hak prerogatif penguasa, merupakan sinerji dari fitnah tahta, fitnah harta, dan fitnah wanita.
Pihak terakhir disebut bukan untuk mendiskreditkan kaum hawa, perempuan, wanita. Emansipasi politik wanita malah menjerumuskan penganutnya ke kubangan politik yang serba aneh, asing, ajaib. Agar tak asing, berdaya saing, berwatak singa, ahli mengais rezeki. Melahirkan pahlawan kesiangan.
Di Indonesia adalah pilkada dan pilkara (pemilihan kepala negara). Cerita lain namun mengacu hal yang sama yaitu biaya politik pada pemilihan umum legislatif yang serentak mulai tingkat kabupaten/kota, provinsi dan nasional bersamaan dengan pilpres 2019. Biaya politik mulai untuk membeli tiket agar bisa ikut pemilu – loketnya khusus hanya ada di partai politik – sampai upaya membeli suara pemilih. Ada paket tarif umum dan atau paket tarif khusus, tanpa garansi, untuk sebuah kursi kekuasaan.
Hukum produk politik vs politik produk hukum rimba. Globalisasi dan transnasionalisasi menciptakan fundamentalisme pasar bebas dunia. Terasa nyata mewujud menjadi ideologi dominan. Pasca perang dingin yang menyisakan hégemoni negara super-raksasa. Kepentingan pasar bebas dunia mendorong pelaksanaan program kegiatan adaptif. Baik-buruk, benar-salah, bagus-jelek, betul-keliru ditentukan aklamasi, mayoritas.
Seangker-angkernya hutan atau sebutan lainnya, masih kalah keramat, wingit dengan istana tempat tinggal raja hutan. Karena istana adalah simbol kekuasaan penguasa yang diperoleh secara konstitusional, demokratis. Di balik pintu penguasa, sumber segala sumber. Tak salah dengan nasihat ulama, “jangan dekati pintu penguasa”. Bukan ada apa di balik pintu penguasa.
Di balik pintu istana, sumber segala pidana. Kutukan tuah kursi tanpa kaki.Ingat akan adagium “Id damnum dat qui iubet dare; eius vero nulla culpa est, cui parere necesse sit”. Pertanggungjawaban tidak akan diminta dari mereka yang patuh melaksanakan perintah, melainkan kepada mereka yang memberi perintah. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar