Halaman

Senin, 26 Maret 2018

yèn isin malah ora isi


yèn isin malah ora isi

Ora isi bukan sama dengan ‘tidak isi’ atau  kosong. Bukan pula terkait dengan peribahasa tong kosong ntyaring bunyinya. Menilik bahasa yang dipakai, judul memang hasil modifikasi isin ora isi : sing sapa isin ora bakal oleh-olehan.

Isin atau malu, bagi wong Jawa tak bisa disamakan dengan malu pada umumnya orang Indonesia. Selain rasa malu pada wong Jawa, yang lebih malu lagi kalau dibuat malu. Misal, kalau ada orang lain membuka aibnya.

Malu termasuk budaya éwuh pakéwuh, tepo sliro, rasa rumangsa rikuh. Secara umum, wong Jawa merasa malu hanya sekedar berjalan di depan atau meliwati orang banyak. Apalagi meliwati orang yang sedang menggerombol. Nongkrong dan nangkring dipinggir jalan.

Seperti anak didik SD yang malu disuruh maju ke depan klas untuk menyanyi atau sekedar menulis di papan tulis.

Namun, judul di atas menjelaskan kalau malu tidak akan mendapat apa-apa. Tidak akan mendapat hasil apa-apa. Bahkan yang sudah haknya, kalau tak diproses malah bisa jatuh ke tangan orang lain. Yang tak berhak.

Ada semboyan malu-malu mau. Mulanya malu-malu, lama-kelamaan menjadi malu-maluin. Tak tahu malu, belum berakhir di sini saja. Bahkan berbuat yang memalukan, namun konstitusional, malah sebagai pasal kebanggaan.

Singkat kata, manusia politik harus punya mental baja. Soal malu itu malah merugikan. Ingat pasal : Apa guna malu. Malu tak ada gunanya. Tertangkap basah semacam OTT KPK, atas perbuatan yang memalukan, ybs malah bangga.

Betul, kata pengamat atau hasil survei, kalau mengambil barang orang lain yang bukan haknya – lihat dulu pelakunya.

Korupsi tidak masuk pasal mencuri. Apalagi tidak ada ikatan, kaitan dengan budaya malu.

Sisa kata, yang masih punya rasa malu. Masih memenuhi syarat administrasi untuk tampil, tayang atau mempromosikan diri sendiri. Asal masih bisa calistung. Manusia politik macam ini  yang digadang jadi cikal bakal penerus pewaris tahta. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar