Halaman

Rabu, 14 Maret 2018

Ketika Laut Menjadi Saksi Hidup Yang Welas Asih



Ketika Laut Menjadi Saksi Hidup Yang Welas Asih

Ikhwal, pasal maupun fakta bahwasanya orang dan/atau manusia yang ternyata akan, sudah, sedang dan selalu membuat kerusakan di muka bumi, sesuai sinyalir malaikat sejak jelang Allah menciptakan orang pertama.

Penciptaan manusia dan penguasaannya di bumi, firman Allah swt diabadikan sesuai terjemahan [QS Al Baqarah (2) : 30] : Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."

Jadi, tidak sekedar membuat kerusakan di muka bumi, tetapi juga akan saling menumpahkan darah.

Makna ‘menumpahkan darah’, firman  Allah swt telah meyuratkan [QS Al Baqarah   (2) : 36] : " . . . dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan."

Peradaban melaju melebihi kapasasitas orang yang seolah bergerak tahap demi tahap. Lompatan besar terjadi karena syahwat dan ambisi manusia untuk menguasai bumi. Menjadi khalifah. Penguasaan manusia atas manusia lainnya, semakin membiak secara sistematis. Ilmu sosial dan kemanusiaan, selalu kalah langkah dengan praktik atau kasus yang marak di muka bumi.

Hukum, yang mana adalah buatan atau cipta, karsa, karya manusia, mengikuti arus dan arah kuat. Mereka melihat bumi sebagai benda fisik. Bebas dimanfaatkan tanpa batas. Agar tampak demi kesejahteraan bangsa, maka tiap negara membuat dan melaksanakan aturan main pemanfaatan bumi. Memang ada payung hukum secara internasional.

Wajar, kalau sejauh ini dampak nyata yang dirasakan dari berbuat kerusakan di muka bumi, hanya sebatas berbuat kerusakan di daratan.  Dampak atau efek domino tersebut dikenal dengan bencana alam. Anggapan bencana alam karena perilaku alam yang menyimpang dari ketentuan Allah swt. Seolah alam sudah tidak taat, patuh.

Mengapa manusia secara sadar, terencana dan berkomplotan, melakukan kerusakan di muka bumi. Banyak faktor penyebabnya sekaligus dalih yang mendukungnya.

Mengacu firman Allah swt, menegaskan yang tersurat maupun tersirat, simak terjemahan [QS Asy Syu'araa' (26) : 183] : “Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan;”

Siapa pihak yang dapat “merugikan manusia pada hak-haknya”. Berlaku umum di Indonesia, sebagai bangsa multirelijius. NKRI sebagai negara kepulauan, sangat  kenal, faham, mengetahui sekaligus “berpengalaman” dengan ayat ini.

Ternyata untuk “merusak” bumi ada “ilmu”nya, dilakukan secara terencana, terstruktur, menerus maupun atau dampak pembangunan, bisa juga dampak peperangan. Apakah hanya orang yang sarat ilmu saja yang bisa berbuat kerusakan?. Apakah hanya kekuasaan dan kekuatan formal saja yang berhak “merusak” bumi.

Agar tulisan ini fokus sesuai judul, kita simak dengan cermat kandungan terjemahan [QS Ar Ruum (30) : 41] : “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Manusia menggunakan akalnya untuk mencari pembenaran atas segala tindakannya dalam mengolah kekayaan alam. Manusia sering terbentur pada kenyataan alam yang sulit dicerna akal, logika dan nalarya. Tepatnya, bahkan manusia tidak peduli pada nasib generasi mendatang akibat eksplorasi dan eksploitasi bumi.

Kerusakan di darat dan di laut, akibat manusia mempraktekkan tumpukan dan deretan ilmunya, merasa wajib melakukan perubahan. Keberhasilan secara politis atau kebijakan politik dan ekonomis dianggap sebagai tolok ukur perubahan. Bumi menjadi obyek perubahan. Perubahan kecil dengan merubah permukaan bumi dengan tujuan menjadi tempat tinggal yang layak bagi manusia. Mengelupas dan mengupas kulit bumi hingga gundul, dengan dalih untuk perubahan. Mengeduk dan menguras kandungan bumi dan isi laut, dianggap hal kecil sebagai modal perubahan besar.

Sebagai khalifah, manusia diberi tangungjawab pengelolaan alam semesta untuk kesejahteraan ummat manusia. Karena alam semesta memang diciptakan Tuhan untuk manusia. Sebagai wakil Tuhan manusia juga diberi otoritas ketuhanan; menyebarkan rahmat Tuhan, menegakkan kebenaran, membasmi kebatilan, menegakkan keadilan, dan bahkan diberi otoritas untuk menghukum mati manusia. Sebagai hamba manusia adalahkecil, tetapi sebagai khalifah Allah, manusia memiliki fungsi yang sangat besar dalam menegakkan sendi-sendi kehidupan di muka bumi. Oleh karena itu manusia dilengkapi Tuhan dengan kelengkapan psikologis yang sangat sempurna, akal, hati, hati nurani, syahwat dan hawa nafsu, yang kesemuanya sangat memadai bagi manusia untuk menjadimakhluk yang sangat terhormat dan mulia, disamping juga sangat potensil untuk terjerumus hingga pada posisi lebih rendah disbanding binatang. (di-copas dari sumber “Manusia Sebagai Khalifah di Muka Bumi”, SELASA, 29 DESEMBER 2009. Penulis ?)

Di tanah air-ku Indonesia. Penulis yang tidak punya pengalaman dengan laut, tidak bisa omong banyak. Namun jika membaca berita dari berbagai sumber berita, dapat disimpulkan dengan baik dan benar. Secara awam, atau ingatan pelajaran ilmu bumi. Luas lautan Indonesia nyaris 2 kali lipat luas daratannya.

Episode “kerusakan di laut Indonesia”, diyakini dan yakin pelakunya bukan orang sembarangan. Bisa-bisa dan menang bisa, adalah manusia asing, makhluk asing. Ada pihak yang saling diuntungkan. Seperti judi, biasanya yang untung cuma sang bandar.

Menambah luas daratan, semacam reklamasi, taka da hubungannya dengan pulau kecil yang terlepas dari pangkuan Ibu Pertiwi.

Aneka kejadian perkara, yang mungkin luput dari liputan awak media. Luasnya lautan bisa diduga. Tapi isi hati penguasa selalu tak terduga. Paling-paling sekitar rakus harta, haus kaya dan kekayaan. Yang jelas dan nyata benderang, dimungkinkan bintang utama episode “kerusakan di laut Indonesia” adalah wajah asli Nusantara.

Ironis binti mirisnya, ybs tidak tahu dengan apa yang dilakukannya. Apakah karena tuntutan jabatan. Atau modal utama kampanye yang akhirnya harus dibuktikan. Atau desakan dari inestor politik yang menjadi bandar politik utama penyandang dana utama. Ybs tidak mau tahu dengan dampak, efek domino, akibat dari tindakannya. Walau secara fisik tidak melakukan. Semacam orang bakar ladang untuk membuka lahan, berkahir dengan episode “karhutla”. Contoh yang nyambung, ybs bukan seperti nelayan tradisional, petani garam.

Kita wajib bersyukur Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957 merupakan landasan struktural dan legalitas bagi proses integrasi nasional Indonesia sebagai negara maritim.

Itulah Indonesia-ku. Aktor intelektual memang mempunyai hak dan wewenang tak terbantahkan. Walau terbatas pada periode waktu aktif dan jam kerja. Di satu sisi, ybs sebagai perpanjangan tangan kepentingan asing, namun ke dalam ybs kurang panjang tangan.

Pihak lain mengatakan, tidak hanya kerusakan di laut. Akibat laut menjelma menjadi milik bersama, dampaknya pada daratan. Apa saja bisa masuk liwat lautan dalam jumlah yang tidak bisa dilakukan oleh angkutan udara. Rakyat bisa merasakan asinnya garam dari laut seberang lautan.

Berdasarkan perhitungan pakar maritim Indonesia diperkirakan sekitar 90% perdagangan international diangkut melalui laut, sedangkan 40% dari rute perdagangan internasional tersebut melewati Indonesia. Angka yang luar biasa. Hal ini berarti, Indonesia sampai kapanpun akan menjadi tempat strategis dalam peta dunia. (Laporan “Implementasi Konsep Tol Laut 2015”, Direktorat Transportasi, Kementerian PPN/Bappenas).

Tak bisa dibandingkan dengan gaya iblis yang mendatangi manusia dari arah muka atau depan dan dari arah belakang, serta dari arah kanan dan arah kiri.

Jadi, selama bumi masih berputar di porosnya. Maka kejadian perkara apapun di muka bumi, khususnya daratan dan lautan NKRI.  Wallahu a’lam bisshawab. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar