Ketika Laut Menjadi Saksi Hidup
Yang Welas Asih
Ikhwal, pasal maupun
fakta bahwasanya orang dan/atau manusia yang ternyata akan, sudah, sedang dan
selalu membuat kerusakan di muka bumi, sesuai sinyalir malaikat sejak jelang
Allah menciptakan orang pertama.
Penciptaan manusia dan
penguasaannya di bumi, firman Allah swt diabadikan sesuai terjemahan [QS Al
Baqarah (2) : 30] : Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka
berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang
yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan
berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Jadi, tidak sekedar
membuat kerusakan di muka bumi, tetapi juga akan saling menumpahkan darah.
Makna ‘menumpahkan
darah’, firman Allah swt telah
meyuratkan [QS Al Baqarah (2) : 36] :
" . . . dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi
musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan
hidup sampai waktu yang ditentukan."
Peradaban melaju
melebihi kapasasitas orang yang seolah bergerak tahap demi tahap. Lompatan
besar terjadi karena syahwat dan ambisi manusia untuk menguasai bumi. Menjadi
khalifah. Penguasaan manusia atas manusia lainnya, semakin membiak secara
sistematis. Ilmu sosial dan kemanusiaan, selalu kalah langkah dengan praktik
atau kasus yang marak di muka bumi.
Hukum, yang mana adalah
buatan atau cipta, karsa, karya manusia, mengikuti arus dan arah kuat. Mereka
melihat bumi sebagai benda fisik. Bebas dimanfaatkan tanpa batas. Agar tampak
demi kesejahteraan bangsa, maka tiap negara membuat dan melaksanakan aturan
main pemanfaatan bumi. Memang ada payung hukum secara internasional.
Wajar, kalau sejauh ini
dampak nyata yang dirasakan dari berbuat kerusakan di muka bumi, hanya sebatas
berbuat kerusakan di daratan. Dampak
atau efek domino tersebut dikenal dengan bencana alam. Anggapan bencana alam
karena perilaku alam yang menyimpang dari ketentuan Allah swt. Seolah alam
sudah tidak taat, patuh.
Mengapa manusia secara
sadar, terencana dan berkomplotan, melakukan kerusakan di muka bumi. Banyak
faktor penyebabnya sekaligus dalih yang mendukungnya.
Mengacu firman Allah
swt, menegaskan yang tersurat maupun tersirat, simak terjemahan [QS Asy
Syu'araa' (26) : 183] : “Dan janganlah kamu merugikan manusia pada
hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan;”
Siapa pihak yang dapat
“merugikan manusia pada hak-haknya”. Berlaku umum di Indonesia, sebagai bangsa
multirelijius. NKRI sebagai negara kepulauan, sangat kenal, faham, mengetahui sekaligus
“berpengalaman” dengan ayat ini.
Ternyata untuk “merusak”
bumi ada “ilmu”nya, dilakukan secara terencana, terstruktur, menerus maupun
atau dampak pembangunan, bisa juga dampak peperangan. Apakah hanya orang yang
sarat ilmu saja yang bisa berbuat kerusakan?. Apakah hanya kekuasaan dan
kekuatan formal saja yang berhak “merusak” bumi.
Agar tulisan ini fokus
sesuai judul, kita simak dengan cermat kandungan terjemahan [QS Ar Ruum (30) :
41] : “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena
perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Manusia menggunakan
akalnya untuk mencari pembenaran atas segala tindakannya dalam mengolah
kekayaan alam. Manusia sering terbentur pada kenyataan alam yang sulit dicerna
akal, logika dan nalarya. Tepatnya, bahkan manusia tidak peduli pada nasib
generasi mendatang akibat eksplorasi dan eksploitasi bumi.
Kerusakan di darat dan
di laut, akibat manusia mempraktekkan tumpukan dan deretan ilmunya, merasa
wajib melakukan perubahan. Keberhasilan secara politis atau kebijakan politik
dan ekonomis dianggap sebagai tolok ukur perubahan. Bumi menjadi obyek
perubahan. Perubahan kecil dengan merubah permukaan bumi dengan tujuan menjadi
tempat tinggal yang layak bagi manusia. Mengelupas dan mengupas kulit bumi
hingga gundul, dengan dalih untuk perubahan. Mengeduk dan menguras kandungan
bumi dan isi laut, dianggap hal kecil sebagai modal perubahan besar.
Sebagai khalifah,
manusia diberi tangungjawab pengelolaan alam semesta untuk kesejahteraan ummat
manusia. Karena alam semesta memang diciptakan Tuhan untuk manusia. Sebagai
wakil Tuhan manusia juga diberi otoritas ketuhanan; menyebarkan rahmat Tuhan,
menegakkan kebenaran, membasmi kebatilan, menegakkan keadilan, dan bahkan
diberi otoritas untuk menghukum mati manusia. Sebagai hamba manusia
adalahkecil, tetapi sebagai khalifah Allah, manusia memiliki fungsi yang sangat
besar dalam menegakkan sendi-sendi kehidupan di muka bumi. Oleh karena itu
manusia dilengkapi Tuhan dengan kelengkapan psikologis yang sangat sempurna,
akal, hati, hati nurani, syahwat dan hawa nafsu, yang kesemuanya sangat memadai
bagi manusia untuk menjadimakhluk yang sangat terhormat dan mulia, disamping
juga sangat potensil untuk terjerumus hingga pada posisi lebih rendah
disbanding binatang. (di-copas dari sumber “Manusia Sebagai Khalifah di
Muka Bumi”, SELASA, 29 DESEMBER 2009. Penulis ?)
Di tanah air-ku
Indonesia. Penulis yang tidak punya pengalaman dengan laut, tidak bisa omong
banyak. Namun jika membaca berita dari berbagai sumber berita, dapat
disimpulkan dengan baik dan benar. Secara awam, atau ingatan pelajaran ilmu
bumi. Luas lautan Indonesia nyaris 2 kali lipat luas daratannya.
Episode “kerusakan di
laut Indonesia”, diyakini dan yakin pelakunya bukan orang sembarangan.
Bisa-bisa dan menang bisa, adalah manusia asing, makhluk asing. Ada pihak yang
saling diuntungkan. Seperti judi, biasanya yang untung cuma sang bandar.
Menambah luas daratan,
semacam reklamasi, taka da hubungannya dengan pulau kecil yang terlepas dari
pangkuan Ibu Pertiwi.
Aneka kejadian perkara,
yang mungkin luput dari liputan awak media. Luasnya lautan bisa diduga. Tapi
isi hati penguasa selalu tak terduga. Paling-paling sekitar rakus harta, haus
kaya dan kekayaan. Yang jelas dan nyata benderang, dimungkinkan bintang utama
episode “kerusakan di laut Indonesia” adalah wajah asli Nusantara.
Ironis binti mirisnya,
ybs tidak tahu dengan apa yang dilakukannya. Apakah karena tuntutan jabatan.
Atau modal utama kampanye yang akhirnya harus dibuktikan. Atau desakan dari
inestor politik yang menjadi bandar politik utama penyandang dana utama. Ybs
tidak mau tahu dengan dampak, efek domino, akibat dari tindakannya. Walau
secara fisik tidak melakukan. Semacam orang bakar ladang untuk membuka lahan,
berkahir dengan episode “karhutla”. Contoh yang nyambung, ybs bukan
seperti nelayan tradisional, petani garam.
Kita wajib bersyukur
Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957 merupakan landasan struktural dan
legalitas bagi proses integrasi nasional Indonesia sebagai negara maritim.
Itulah Indonesia-ku.
Aktor intelektual memang mempunyai hak dan wewenang tak terbantahkan. Walau
terbatas pada periode waktu aktif dan jam kerja. Di satu sisi, ybs sebagai
perpanjangan tangan kepentingan asing, namun ke dalam ybs kurang panjang
tangan.
Pihak lain mengatakan,
tidak hanya kerusakan di laut. Akibat laut menjelma menjadi milik bersama,
dampaknya pada daratan. Apa saja bisa masuk liwat lautan dalam jumlah yang
tidak bisa dilakukan oleh angkutan udara. Rakyat bisa merasakan asinnya garam
dari laut seberang lautan.
Berdasarkan perhitungan pakar maritim Indonesia diperkirakan sekitar 90% perdagangan international diangkut melalui laut, sedangkan 40% dari rute perdagangan internasional tersebut melewati Indonesia. Angka yang luar biasa. Hal ini berarti, Indonesia sampai kapanpun akan menjadi tempat strategis dalam peta dunia. (Laporan “Implementasi Konsep Tol Laut 2015”, Direktorat Transportasi, Kementerian PPN/Bappenas).
Berdasarkan perhitungan pakar maritim Indonesia diperkirakan sekitar 90% perdagangan international diangkut melalui laut, sedangkan 40% dari rute perdagangan internasional tersebut melewati Indonesia. Angka yang luar biasa. Hal ini berarti, Indonesia sampai kapanpun akan menjadi tempat strategis dalam peta dunia. (Laporan “Implementasi Konsep Tol Laut 2015”, Direktorat Transportasi, Kementerian PPN/Bappenas).
Tak bisa dibandingkan
dengan gaya iblis yang mendatangi manusia dari arah muka atau depan dan dari
arah belakang, serta dari arah kanan dan arah kiri.
Jadi, selama bumi masih berputar di porosnya. Maka kejadian perkara apapun
di muka bumi, khususnya daratan dan lautan NKRI. Wallahu a’lam bisshawab. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar