Modus Propaganda,
Sensasi Politik vs Mantra Politik
Tidak di tahun politik. Sejak pasca dilantik dengan
ucap janji dan sumpah, otomatis pejabat negara atau sebutan lainnya. Argo balas
jasa/balas budi maupun balas dendam bak kuda liar. Komunikasi, koordinasi,
kendali dengan pihak resmi, legal, konstitusional maupun dengan pihak
sebaliknya, semakin seksama.
Jaminan uang beredar di pasar dunia, semakin
menunjukkan taji negara investor politik. Tidak perlu menggunakan jasa negara
ketiga atau memanfaatkan pasar gelap.
Kesepakatan yang dibangun secara diam-diam, tahu sama
tahu, pokoknya beres. Tidak ada pihak yang merasa dilangkahi haknya. Namanya politik,
pemerintah atau penguasa sudah kebal dengan namanya makan hati akibat ulah
asing.
Di dalam negeri, kepedulian anak bangsa pribumi akan
perjalanan nasib NKRI, malah dicap sebagai kritik yang membuat sakit hati. Dianggap
menghina nama baik presiden. Disangka mencoreng wibawa negara di mata rakyatnya
sendiri. Layak diduga akan makar hanya karena melanggar larangan ganjil-genap.
Soal atas pasal menjual negara semacam mengemplang
pajak, bukan masalah rakyat. Seberapa kecil ULN, bukan urusan rakyat jelata. Arus
masuk budaya, barang, ideologi, orang asing ke sudut dan pojok pelosok
Nusantara. Mendongkrak pamor obyek wisata lokal.
Jangan lupa, masih banyak menu dan sajian politik yang
sudah kedaluwarsa. Lebih ke arah pencitraan, merangsang pesona, menambah stamina
citra diri. Titik lemah bangsa menjadi pengungkit rasa PD (percaya diri). Semakin
disanjung, semakin malah menjadi-jadi. Bak bara disiram bensin bersubsidi. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar