Halaman

Senin, 26 Maret 2018

malu-malu politik vs politik malu-malu


malu-malu politik vs politik malu-malu

Dasar manusia politik. Untuk urusan dunia, nikmat dunia, urat malu sudah putus. Tidak ada kapoknya. Semakin terbuai dengan aroma irama hasil perjuangan ideologisnya. Ideologi tak ada matinya. Bisa diwariskan ke anak cucu.

Pasal . . . maupun perbuatan tercela . . . di UU MD3 (UU2/2018) tidak dijelaskan secara rinci. Jelas pelakunya, karena faktor tugas dan wewenangnya. Pasal panggilan tugas dan kepentingan negara, tidak dapat diganggu gugat. Kasus jika ada bisa “ditiadakan” secara yuridis. Siapa yang aka memperkarakannya.

Ketika budaya malu, urat malu, rasa malu, kadar malu, jiwa malu nyaris terkikis habis dari haribaan pergaulan di NKRI ini. Namun nun jauh di belakang lubuk hati nurani,  cikal bakal sumber malu tetap membara.

Gencarnya serbuan penggandaan berita aneka kejadian perkara, sesuai skenario. Perpaduan antara ujaran kebencian dengan ujaran kebohongan, produk yang sama. Sumber satu sumber yang sama.

Rangkaian, rentetan peristiwa kriminal berselang-seling dengan pertarungan antar elit politik memperebutkan kekuasaan, kekayaan dan kekuatan. Ya itu, berita politik dengan berita kriminal, nyaris tak ada beda. Semua ini, selain menyebabkan kita kebal, menjadikan kita justru bisa melihat kenyataan. 

Semangkin kenyataan itu ditutup-tutupi akan semangkin memperjelas hakikat dan eksistensi kebenaran, yang tak lekang di makan zaman, tak lapuk di kunyah sejarah serta tak layu di siram panas matahari.

Tayangan dan tampilan fakta lebih mengarah pada kondisi yang kontradiktif. Orang berdasi boleh tak malu untuk melakukan tipikor, di relung lain orang risi melihat porno ndakdhut dipertontonkan. Otak berfikir, ada berita penyelundupan barang terbongkar - entah melalui darat, laut utawa udara - soalnya arus penyelundupan jelas rutin setiap saat. Efek domino tol laut, menjadikan garam dapur dari negara entah berantah, bisa masuk ke dapur rakyat.

Kata sang ahli, pakar, maestro di bidang garapnya, bahwa modus politik sangat ditentukan oleh penulisan skenarionya. Ukurannya sederhana, yaitu mampu mengaduk-aduk emosi, enerji penonton. Bahkan siapa yang jadi bintang, seolah bisa diabaikan. Pariwara politik bisa menjadikan menu kaki lima menjadi sajian hotel bintang lima.

Penguasa jeli dengan pasar malu dalam negeri. Siap dengan pasal bahwa yang tidak sesuai dengan dinamika dan perkembangan hukum dalam masyarakat, bisa diatur.

Jadi, selama budaya malu hanya sebagai penghalang atau batu sandungan perjuangan manusia politik, bisa menjadi urusan nanti-nanti. Kalau masih sempat. Wallahu a’lam bisshawab. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar