malu-malu politik
vs politik malu-malu
Dasar manusia politik. Untuk urusan dunia, nikmat
dunia, urat malu sudah putus. Tidak ada kapoknya. Semakin terbuai dengan aroma
irama hasil perjuangan ideologisnya. Ideologi tak ada matinya. Bisa diwariskan
ke anak cucu.
Pasal . . . maupun perbuatan tercela . . . di UU MD3 (UU2/2018) tidak
dijelaskan secara rinci. Jelas pelakunya, karena faktor tugas dan wewenangnya. Pasal
panggilan tugas dan kepentingan negara, tidak dapat diganggu gugat. Kasus jika
ada bisa “ditiadakan” secara yuridis. Siapa yang aka memperkarakannya.
Ketika budaya malu, urat malu, rasa malu, kadar malu,
jiwa malu nyaris terkikis habis dari haribaan pergaulan di NKRI ini. Namun nun
jauh di belakang lubuk hati nurani, cikal
bakal sumber malu tetap membara.
Gencarnya serbuan penggandaan berita aneka kejadian
perkara, sesuai skenario. Perpaduan antara ujaran kebencian dengan ujaran
kebohongan, produk yang sama. Sumber satu sumber yang sama.
Rangkaian, rentetan peristiwa kriminal
berselang-seling dengan pertarungan antar elit politik memperebutkan kekuasaan,
kekayaan dan kekuatan. Ya itu, berita politik dengan berita kriminal, nyaris
tak ada beda. Semua ini, selain menyebabkan kita kebal, menjadikan kita justru
bisa melihat kenyataan.
Semangkin kenyataan itu ditutup-tutupi akan semangkin
memperjelas hakikat dan eksistensi kebenaran, yang tak lekang di makan zaman,
tak lapuk di kunyah sejarah serta tak layu di siram panas matahari.
Tayangan dan tampilan fakta lebih mengarah pada
kondisi yang kontradiktif. Orang berdasi boleh tak malu untuk melakukan
tipikor, di relung lain orang risi melihat porno ndakdhut dipertontonkan. Otak
berfikir, ada berita penyelundupan barang terbongkar - entah melalui darat,
laut utawa udara - soalnya arus penyelundupan jelas rutin setiap saat. Efek domino
tol laut, menjadikan garam dapur dari negara entah berantah, bisa masuk ke dapur rakyat.
Kata sang ahli, pakar, maestro di bidang garapnya,
bahwa modus politik sangat ditentukan oleh penulisan skenarionya. Ukurannya
sederhana, yaitu mampu mengaduk-aduk emosi, enerji penonton. Bahkan siapa yang
jadi bintang, seolah bisa diabaikan. Pariwara politik bisa menjadikan menu kaki
lima menjadi sajian hotel bintang lima.
Penguasa jeli dengan pasar malu dalam negeri. Siap dengan
pasal bahwa yang tidak sesuai dengan dinamika dan perkembangan hukum dalam masyarakat,
bisa diatur.
Jadi, selama budaya malu hanya sebagai penghalang atau
batu sandungan perjuangan manusia politik, bisa menjadi urusan nanti-nanti. Kalau
masih sempat. Wallahu a’lam bisshawab. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar