Halaman

Sabtu, 10 Maret 2018

Obyek Partai, Anak Muda Jangan Digurui



Obyek Partai, Anak Muda Jangan Digurui

Menyimak kualitas kesehatan dan harapan hidup rata-rata manusia di dunia, maka yang masuk kategori anak muda, pemuda adalah yang rentang usia 18-65 tahun. Tak ada kaitannya dengan batas usai pensiun 58 tahun. Kematangan jiwa dan raga seseorang tetap bukan berdasarkan usia/umur.

Terkait bonus demografi, yaitu ketika jumlah penduduk berusia produktif 15-64 tahun lebih banyak ketimbang usia tak produktif (di bawah 15 dan lebih dari 64), sepertinya manusia Indonesia bisa sampai ke kriteria setengah baya (66-79tahun), bahkan orang tua (80-99) maupun orang tua berusia panjang (100 tahun ke atas).

Bagi umat Islam, Kementerian Agama (Kemenag) menaikkan batas usia prioritas calon Jemaah haji (calhaj) yang diberangkatkan ke Tanah Suci dari 75 tahun  menjadi 80 tahun. Kebijakan ini dilakukan karena masih ada 20 ribu orang dakam daftar tunggu haji yang berusia 80 tahun ke atas. Jumlah tersebut setara dengan 10 persen dari total kuota haji nasional. (Republika, Kamis, 8 Maret 2018).

Akumulai anak muda adalah generasi muda. Bagaimana hubungan generasi muda dengan dunia, panggung, industri, syahwat politik. Pemerintah sudah mengantisipasinya. Antara dengan yang bisa kita simak adalah UU 17/2017 tentang Pemilihan Umum, khususnya pada :

BAB XVII
PARTISIPASI MASYARAKAT
Pasal 448
(1).     Pemilu diselenggarakan dengan partisipasi masyarakat.
(2).    Partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk:
a.    sosialisasi Pemilu;
b.    pendidikan politik bagi Pemilih;
c.    survei atau jajak pendapat tentang Pemilu; dan
d.    penghitungan cepat hasil Pemilu.

Lepas dari pasal yang menjelaskan aturan main “pendidikan politik bagi Pemilih”, muncul pertanyaan awam. Kendati ada paket instant untuk pendidikan politik, hasilnya si pemilih akan merasa serba salah.

Idealnya, pendidikan politik periode sedang berjalan sebagai pintu masuk ke periode yang akan datang. Kalau pelaku utama adalah partai politik. Jelas sebagai PR besar, pertama dan utama untuk menggalang massa.

Kita tak tahu, apakah ide mendirikan partai karena sudah proses matang. Minimal pada kesimpulan bahwa anak muda, kawula muda, generasi muda agar lebih bermanfaat bagi bangsa dan tanah air, maka dibutuhkan wadah formal.

Di panggung  politik, kontribusi, kiprah dan kinerja generasi muda patut diacungi jempol, sekaligus juga memprihatinkan karena terlibat tipikor. Masih sebagai penggembira atau figuran zaman dalam alih kepemimpinan nasional.

Bicara soal generasi muda, muncul beberapa gambaran umum secara ironis maupun optimis. Bicara soal generasi muda, tak akan kehabisan sumber inspirasi, tak akan kekurangan acuan hidup dan tak akan ketinggalan bahan renungan. Masalahnya, bagaimana pemerintah memandang serta memposisikan generasi muda.

Pertama. Menu penguasa 2014-2019 yang serba mégatéga semakin menjadikan ruang gerak generasi pewaris masa depan semakin terbatas. Inilah cikal bakal munculnya radikalisme semu namun akumulasinya bak puncak gunung es di laut lepas. Mungkin generasi pewaris masa depan, yang sebut saja bagaikan generasi plung lap, hidup di bawah bayang-bayang hitam modus penguasa. Hanya karena iming-iming nikmat duniawi banyak elemen, komponen generasi pewaris masa depan yang siap melibas. Menjadi garda pemukul. Main babat tanpa pandang bulu. Hobi tebas lawan politik dengan suka cita.

Kedua. Katakan dengan singkat, memangnya generasi muda Nusantara sudah salah jalan, salah arah, salah tujuan maupun salah asuh. Kalau demikian halnya, jangan salahkan siapa-siapa. Siapa duga semua yang menimpa generasi muda harapan masa depan bangsa, merupakan korban dari salah sistem yang dilakukan pemerintah antar periode. Atau presiden saat susun pembantu presiden malah salah orang.

Ketiga. Gempuran dan tantangan generasi muda dari luar, yang tak kalah tanpa pandang bulunya, adalah erosi budaya akibat pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sebelum waktunya. Atau ada yang melebihi kapasitas diri. Melampaui daya dukung dan daya tamping karakter diri.

Terbukti, masuk periode pasca SBY, korporasi yang menguasai politik TIK, menjadi pengganda berita bohong. Menjadi penabur dan penebar fitnah dunia, anti-Pancasila maupun ujaran menista agama. Kawanan perekayasa informasi menjadi andalan pihak tertentu. Akhirnya generasi muda menjadi bulanan-bulanan ambisi, imajinasi, fantasi politik segelintir elit bangsa. Negara tidak hanya dirugikan secara Rp tetapi negara terjual murah. Akibat barter politik dengan pihak investor politik dari negara paling bersahabat.

Sosok generasi muda dalam sinetron acap ditampilkan berbusana setelan jas lengkap, tanpa memperhatikan lokasi. Misalkan, di kuburan, di dalam rumah. Minimal masuk ketagori parlente, glamour dan anti keringat. Busana kaum hawa, dengan model mutakhir tak kalah gaya, bahkan penampilan pramuwisma dengan atributnya, tak bisa dibedakan dengan sang majikan.

Gambaran di atas, baru mewakili satu aspek saja (busana sebagai representasi gaya hidup dan gengsi), kalau aspek lain diulas, dikupas, maupun diungkap seolah bangsa Indonesia sudah makmur, sudah tidak terdapat rakyat miskin. Sekaligus menampakkan ada pola pergaulan yang tidak ada di kamus atau norma budaya sebagai bangsa timur.

Keempat. Ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan terhadap perjalanan hidup generasi masa depan sudah sedemikian sistematis, terukur dan dinamis. Kekerasan seksual yang menimpa anak, remaja atau cikal bakal generasi penerus masa depan bangsa, ibarat menghancurkan benih yang sedang tunas. Faktor penyebab tindak kekerasan seksual atau bagian dari penyakit masyarakat, tidak bersifat individual. Bedanya, karena ada tindakan yang legal, resmi, sesuai kebijakan lokal, tidak merugikan negara, berdaya tarik ekonomi sehingga malah perlu dilestarikan.

Apakah karena secara nasional, partai politik kurang mampu menyiapkan calon pemimpin nasional, sehingga mereka tidak peka, kurang peduli, dan malas tanggap terhadap gerakan nyata menyiapkan generasi masa depan. Karena tidak masuk ranah politik, tidak bergengsi secara politis, tidak mendongkrak citra diri, atau kalau terpaksa melakukan, hanya sekedar basa-basi, seremonial. Takut karir politiknya ternoda, terhambat maupun nilai jualnya merosot tajam, minimal mengganggu daya juang dan kinerja insting politiknya.

Mata rantai tipikor sudah mengakar dan menggurita sampai pelosok nusantara, dilaksanakan secara seksama dalam tempo menerus oleh birokrat, aparat kepolisian, jajaran penegak hukum, pebisnis di dunia militer, parlemen, rekanan, sampai para pemangku kepentingan dari berbagai unsur dan anasir. Tiap tahun rating atau peringkat sebagai negara yang melahirkan koruptor, semangkin meningkat. Diimbangi tarif BBM dan UMR termasuk kategori murah utawa rendah, untuk skala ASEAN sekalipun. Apa kata dunia.

Kelima. Karena masa penantian politik malah menjadikan kehidupan berbangsa dan bernegara atau regenerasi gelombang peradaban menjadi bak tata niaga politik dengan sistem buka-tutup. Aliran darah segar politik hanya beredar di tempat. Dari side A ke side B. jantung politik Nusantara nyaris kehilangan enerji. Muncul dipermukaan adalah gaung emosi yang genit-genit culas. Entah hidung belang macam apa, model apa yang dirayu. Ditunggu dipanggung politik untuk diajak goyang bareng.

Keenam. “Bayangkan, setiap hari ada 50 generasi bangsa meninggal karena narkoba. Dalam setahun sekitar 18 ribu orang meninggal,” ujar presiden ketujuh RI dalam sambutan pada Rapat Koordinasi Nasional Gerakan Nasional Penanganan Ancaman Narkoba dalam Rangka Mewujudkan Indonesia Emas 2045 di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Rabu, 4 Februari 2015.

Generasi muda mengalami penjajahan moral melalui globalisasi, khususnya perdagangan bebas. Serbuan produk maupun budaya asing nyaris tak bisa dan sempat ditangkal, apalagi disaring.

Tahun 2045 merupakan momentum 100 tahun Indonesia merdeka.  Indonesia menargetkan sebagai bangsa modern, syaratnya generasi muda agar giat mempelajari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dan dunia cyber, agar kelak bisa melindungi Indonesia dari serangan di dunia maya.

Tidak gagap teknologi, bukan berarti menjadi generasi virtual yang tergantung pada gadget dan teknologi informasi. Menjelajahi dan asyik dengan dunia virtual berakibat tidak peka situasi sosial,  tidak mempekakan perasaan dan hati.

Ketujuh. Pemuda adalah warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun. Demikian bunyi Pasal 1, UU RI 40/2009 tentang Kepemudaan. Bahwa untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional, diperlukan pemuda yang berakhlak mulia, sehat, tangguh, cerdas, mandiri, dan profesional. Dengan kata lain atau lain kata, pemuda maupun generasi muda harus bebas alkohol. Tidak hanya dari pemilih pemula, bahkan batita pun bisa dicekoki tayangan hiburan anak sarat dengan kandungan porno ragam, porno aksi, sihir, mistis, misteri, ajaib, ghaib. Lima tahun ke depan, kita bantu pemerintah seoptimal mungkin, jangan jadi pecundang. Masih banyak anak bangsa yang beritikad baik.

Kedelapan. Generasi muda Islam optimis untuk terjun ke industri politik secara total, dari hulu sampai hilir. Bukan sebagai penggembira, bukan sebagai pelengkap penderita, bukan sebagai korban zaman, bukan sebagai pembeli produk partai politik. Karena umat Islam pada umumnya mempunyai paket reliji, yaitu antara pikiran, ucapan dan tindakan dikemas dalam satu sistem kesatuan. Al-Qur’an dan Sunnah Rasul sudah menyuratkan serta menyuratkan adab berjalan, berbicara, dsb.
Acara, atraksi, adegan berbasis dialog, diskusi dan debat yang menjadi andalan media penyiaran tv, bukannya tanpa dampak bagi pertumbuhan dan perkembangan jiwa politik generasi muda Islam. Kontaminasi akibat secara tak sadar mengidolakan cara bicara artis, selebiris atau politisi sipil saat diwawancarai wartawan tv. Gaya bicara memang berkaitan erat dengan kualitas diri. Tak salah pendapat orang jika IQ seseorang bisa dilacak dari gaya bicaranya. ESQ tercermin pada cara berbicara dan cara bertindak.

Bayangkan, jika individu generasi muda Islam, yang bukan siapa-siapa, bukan anak siapa-siapa, bukan dan tidak mempunyai keturunan darah politik, tidak punya akses publikasi media masa, tidak punya modal politik, jangan-jangan bisa tumpas sebelum tunas. Layu sebelum melaju. Tumbang sebelum maju ke gelanggang.

Kesembilan. Zaman Orde Lama maupun dan Orde Baru diawali dengan kiprah generasi muda. Orde Reformasi mencatat, generasi muda gamang menerima alih generasi, terninabobokan sebagai elit parpol, terbuai jabatan dan rayuan rupiah, tergiur kehidupan duniawi. Estafet kepemimpinan mampet, generasi tua masih doyan kursi negara. 

Generasi muda bisa membidani dan menyemarakkan suatu zaman. Hal yang kontradiktif pun bisa menimpanya, mulai tersisih dan termakan oleh zaman, menjadi beban sekaligus korban zaman, bahkan kontribusinya hanya “numpang liwat,” serta figuran zaman.

Generasi muda sarat dengan sederet status, simbol, atribut, predikat, potensi, dan jati diri, namun bukan jaminan bisa berakselerasi dengan zaman. Arus zaman bukan pilihan benar salah maupun baik buruk, harus dilihat dengan kacamata politik. Banyak cara untuk tampil atraktif, spektakuler dan profesional dalam panggung nasional, namun jika tidak masuk koridor dan sesuai skenario ranah politik tidak bisa mengendalikan zaman.

Tantangan dan beban  zaman antar generasi muda berbeda, tetapi tak bisa dikatakan zaman sekarang lebih enak daripada zaman sebelumnya, atau sebaliknya. Dukungan keluarga sampai pemerintah akan menentukan pola interaksi dengan dinamika zaman. 

Semakin besar harapan rakyat pada generasi muda, khususnya politisi muda, semakin besar kekecewaan yang didapat. Muda harus diimbangi dengan pengalaman, jam terbang atau nilai jual. Prestasi disusun dari tingkat lokal, dilakukan secara total. Kiprah pemuda memang tidak tipikal dan tidak bisa diambil benang merahnya. Seolah “tanpa modal” banyak pemuda yang berkibar dalam karir, dengan gaya hidup, gaul dan gengsi yang prestisius. Anomali generasi muda tak terbantahkan.

Budaya instan menyebabkan generasi muda tidak tahan banting, mudah rapuh dan berganti haluan, gampang terintervensi, lebih memilih jadi kutu loncat daripada antri. Modal dengkul penghasilan melebihi peras otak. Modal minimalis dengan raih keuntungan optimal.

Debut generasi muda layak masuk orbit, bisa kalah kesempatan dan peluang dengan yang matang karena karbitan. Kalah pamor dengan mereka yang menang merek dari sono-nya. Kalah langkah dengan mereka yang sebagai pewaris tahta.

Kesepuluh atau terakhir. Sejak usia wajib shalat, generasi muda mengalami pengalaman religius yang universal ataupun individual, rutin, sporadis, sesuai do’a maupun yang tak terduga. Antar generasi muda berlutut kapalan (ahli shalat) sudah ada benang merah, tinggal bagaimana mensinergikan potensi ukhuwahnya. Generasi muda diikat dalam satu pemikiran berdasarkan ketetapan dan keteguhan hati yang sama, jiwa mereka kokoh dan kebal terhadap berbagai intervensi pemancing perselisihan dan barisan mereka tidak tersentuh oleh benturan budaya.  [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar