Obyek Partai, Anak
Muda Jangan Digurui
Menyimak kualitas kesehatan dan
harapan hidup rata-rata manusia di dunia, maka yang masuk kategori anak muda,
pemuda adalah yang rentang usia 18-65 tahun. Tak ada kaitannya dengan batas
usai pensiun 58 tahun. Kematangan jiwa dan raga seseorang tetap bukan
berdasarkan usia/umur.
Terkait bonus demografi, yaitu
ketika jumlah penduduk berusia produktif 15-64 tahun lebih banyak ketimbang
usia tak produktif (di bawah 15 dan lebih dari 64), sepertinya manusia Indonesia
bisa sampai ke kriteria setengah baya (66-79tahun), bahkan orang tua (80-99)
maupun orang tua berusia panjang (100 tahun ke atas).
Bagi umat Islam, Kementerian Agama
(Kemenag) menaikkan batas usia prioritas calon Jemaah haji (calhaj) yang diberangkatkan
ke Tanah Suci dari 75 tahun menjadi 80
tahun. Kebijakan ini dilakukan karena masih ada 20 ribu orang dakam daftar
tunggu haji yang berusia 80 tahun ke atas. Jumlah tersebut setara dengan 10
persen dari total kuota haji nasional. (Republika, Kamis, 8 Maret 2018).
Akumulai anak muda adalah generasi
muda. Bagaimana hubungan generasi muda dengan dunia, panggung, industri,
syahwat politik. Pemerintah sudah mengantisipasinya. Antara dengan yang bisa kita
simak adalah UU 17/2017 tentang Pemilihan Umum, khususnya pada :
BAB XVII
PARTISIPASI MASYARAKAT
Pasal 448
(1).
Pemilu diselenggarakan dengan
partisipasi masyarakat.
(2). Partisipasi
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk:
a.
sosialisasi Pemilu;
b.
pendidikan politik bagi Pemilih;
c.
survei atau jajak pendapat tentang
Pemilu; dan
d.
penghitungan cepat hasil Pemilu.
Lepas dari pasal yang menjelaskan
aturan main “pendidikan politik bagi Pemilih”, muncul pertanyaan awam. Kendati
ada paket instant untuk pendidikan politik, hasilnya si pemilih akan merasa
serba salah.
Idealnya, pendidikan politik periode
sedang berjalan sebagai pintu masuk ke periode yang akan datang. Kalau pelaku
utama adalah partai politik. Jelas sebagai PR besar, pertama dan utama untuk
menggalang massa.
Kita tak tahu, apakah ide mendirikan
partai karena sudah proses matang. Minimal pada kesimpulan bahwa anak muda,
kawula muda, generasi muda agar lebih bermanfaat bagi bangsa dan tanah air,
maka dibutuhkan wadah formal.
Di panggung politik, kontribusi, kiprah dan kinerja
generasi muda patut diacungi jempol, sekaligus juga memprihatinkan karena
terlibat tipikor. Masih sebagai penggembira atau figuran zaman dalam alih
kepemimpinan nasional.
Bicara soal generasi muda, muncul
beberapa gambaran umum secara ironis maupun optimis. Bicara soal generasi muda,
tak akan kehabisan sumber inspirasi, tak akan kekurangan acuan hidup dan tak
akan ketinggalan bahan renungan. Masalahnya, bagaimana pemerintah memandang
serta memposisikan generasi muda.
Pertama. Menu penguasa 2014-2019
yang serba mégatéga semakin menjadikan ruang gerak generasi pewaris masa depan
semakin terbatas. Inilah cikal bakal munculnya radikalisme semu namun
akumulasinya bak puncak gunung es di laut lepas. Mungkin generasi pewaris masa
depan, yang sebut saja bagaikan generasi plung lap, hidup di bawah
bayang-bayang hitam modus penguasa. Hanya karena iming-iming nikmat duniawi
banyak elemen, komponen generasi pewaris masa depan yang siap melibas. Menjadi garda
pemukul. Main babat tanpa pandang bulu. Hobi tebas lawan politik dengan suka
cita.
Kedua. Katakan dengan singkat,
memangnya generasi muda Nusantara sudah salah jalan, salah arah, salah tujuan
maupun salah asuh. Kalau demikian halnya, jangan salahkan siapa-siapa. Siapa
duga semua yang menimpa generasi muda harapan masa depan bangsa, merupakan
korban dari salah sistem yang dilakukan pemerintah antar periode. Atau presiden
saat susun pembantu presiden malah salah orang.
Ketiga. Gempuran dan tantangan
generasi muda dari luar, yang tak kalah tanpa pandang bulunya, adalah erosi
budaya akibat pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sebelum
waktunya. Atau ada yang melebihi kapasitas diri. Melampaui daya dukung dan daya
tamping karakter diri.
Terbukti, masuk periode pasca SBY,
korporasi yang menguasai politik TIK, menjadi pengganda berita bohong. Menjadi penabur
dan penebar fitnah dunia, anti-Pancasila maupun ujaran menista agama. Kawanan
perekayasa informasi menjadi andalan pihak tertentu. Akhirnya generasi muda
menjadi bulanan-bulanan ambisi, imajinasi, fantasi politik segelintir elit
bangsa. Negara tidak hanya dirugikan secara Rp tetapi negara terjual murah.
Akibat barter politik dengan pihak investor politik dari negara paling
bersahabat.
Sosok generasi muda dalam sinetron
acap ditampilkan berbusana setelan jas lengkap, tanpa memperhatikan lokasi.
Misalkan, di kuburan, di dalam rumah. Minimal masuk ketagori parlente, glamour
dan anti keringat. Busana kaum hawa, dengan model mutakhir tak kalah gaya,
bahkan penampilan pramuwisma dengan atributnya, tak bisa dibedakan dengan sang
majikan.
Gambaran di atas, baru mewakili satu
aspek saja (busana sebagai representasi gaya hidup dan gengsi), kalau aspek
lain diulas, dikupas, maupun diungkap seolah bangsa Indonesia sudah makmur,
sudah tidak terdapat rakyat miskin. Sekaligus menampakkan ada pola pergaulan
yang tidak ada di kamus atau norma budaya sebagai bangsa timur.
Keempat. Ancaman, tantangan,
hambatan dan gangguan terhadap perjalanan hidup generasi masa depan sudah
sedemikian sistematis, terukur dan dinamis. Kekerasan seksual yang menimpa
anak, remaja atau cikal bakal generasi penerus masa depan bangsa, ibarat
menghancurkan benih yang sedang tunas. Faktor penyebab tindak kekerasan seksual
atau bagian dari penyakit masyarakat, tidak bersifat individual. Bedanya,
karena ada tindakan yang legal, resmi, sesuai kebijakan lokal, tidak merugikan
negara, berdaya tarik ekonomi sehingga malah perlu dilestarikan.
Apakah karena secara nasional,
partai politik kurang mampu menyiapkan calon pemimpin nasional, sehingga mereka
tidak peka, kurang peduli, dan malas tanggap terhadap gerakan nyata menyiapkan
generasi masa depan. Karena tidak masuk ranah politik, tidak bergengsi secara
politis, tidak mendongkrak citra diri, atau kalau terpaksa melakukan, hanya
sekedar basa-basi, seremonial. Takut karir politiknya ternoda, terhambat maupun
nilai jualnya merosot tajam, minimal mengganggu daya juang dan kinerja insting
politiknya.
Mata rantai tipikor sudah mengakar
dan menggurita sampai pelosok nusantara, dilaksanakan secara seksama dalam
tempo menerus oleh birokrat, aparat kepolisian, jajaran penegak hukum, pebisnis
di dunia militer, parlemen, rekanan, sampai para pemangku kepentingan dari
berbagai unsur dan anasir. Tiap tahun rating atau peringkat sebagai negara yang
melahirkan koruptor, semangkin meningkat. Diimbangi tarif BBM dan UMR termasuk
kategori murah utawa rendah, untuk skala ASEAN sekalipun. Apa kata dunia.
Kelima. Karena masa penantian
politik malah menjadikan kehidupan berbangsa dan bernegara atau regenerasi
gelombang peradaban menjadi bak tata niaga politik dengan sistem buka-tutup. Aliran
darah segar politik hanya beredar di tempat. Dari side A ke side B. jantung
politik Nusantara nyaris kehilangan enerji. Muncul dipermukaan adalah gaung
emosi yang genit-genit culas. Entah hidung belang macam apa, model apa yang
dirayu. Ditunggu dipanggung politik untuk diajak goyang bareng.
Keenam. “Bayangkan, setiap hari ada
50 generasi bangsa meninggal karena narkoba. Dalam setahun sekitar 18 ribu
orang meninggal,” ujar presiden ketujuh RI dalam sambutan pada Rapat Koordinasi
Nasional Gerakan Nasional Penanganan Ancaman Narkoba dalam Rangka Mewujudkan
Indonesia Emas 2045 di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Rabu, 4 Februari 2015.
Generasi muda mengalami penjajahan
moral melalui globalisasi, khususnya perdagangan bebas. Serbuan produk maupun
budaya asing nyaris tak bisa dan sempat ditangkal, apalagi disaring.
Tahun 2045 merupakan momentum 100
tahun Indonesia merdeka. Indonesia
menargetkan sebagai bangsa modern, syaratnya generasi muda agar giat
mempelajari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dan dunia cyber,
agar kelak bisa melindungi Indonesia dari serangan di dunia maya.
Tidak gagap teknologi, bukan berarti
menjadi generasi virtual yang tergantung pada gadget dan teknologi informasi.
Menjelajahi dan asyik dengan dunia virtual berakibat tidak peka situasi
sosial, tidak mempekakan perasaan dan
hati.
Ketujuh. Pemuda adalah warga negara
Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang
berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun. Demikian bunyi Pasal 1,
UU RI 40/2009 tentang Kepemudaan. Bahwa untuk mewujudkan tujuan pembangunan
nasional, diperlukan pemuda yang berakhlak mulia, sehat, tangguh, cerdas,
mandiri, dan profesional. Dengan kata lain atau lain kata, pemuda maupun
generasi muda harus bebas alkohol. Tidak hanya dari pemilih pemula, bahkan
batita pun bisa dicekoki tayangan hiburan anak sarat dengan kandungan porno
ragam, porno aksi, sihir, mistis, misteri, ajaib, ghaib. Lima tahun ke depan,
kita bantu pemerintah seoptimal mungkin, jangan jadi pecundang. Masih banyak
anak bangsa yang beritikad baik.
Kedelapan. Generasi muda Islam
optimis untuk terjun ke industri politik secara total, dari hulu sampai hilir.
Bukan sebagai penggembira, bukan sebagai pelengkap penderita, bukan sebagai korban
zaman, bukan sebagai pembeli produk partai politik. Karena umat Islam pada
umumnya mempunyai paket reliji, yaitu antara pikiran, ucapan dan tindakan
dikemas dalam satu sistem kesatuan. Al-Qur’an dan Sunnah Rasul sudah
menyuratkan serta menyuratkan adab berjalan, berbicara, dsb.
Acara, atraksi, adegan berbasis
dialog, diskusi dan debat yang menjadi andalan media penyiaran tv, bukannya
tanpa dampak bagi pertumbuhan dan perkembangan jiwa politik generasi muda
Islam. Kontaminasi akibat secara tak sadar mengidolakan cara bicara artis,
selebiris atau politisi sipil saat diwawancarai wartawan tv. Gaya bicara memang
berkaitan erat dengan kualitas diri. Tak salah pendapat orang jika IQ seseorang
bisa dilacak dari gaya bicaranya. ESQ tercermin pada cara berbicara dan cara
bertindak.
Bayangkan, jika individu generasi
muda Islam, yang bukan siapa-siapa, bukan anak siapa-siapa, bukan dan tidak
mempunyai keturunan darah politik, tidak punya akses publikasi media masa,
tidak punya modal politik, jangan-jangan bisa tumpas sebelum tunas. Layu
sebelum melaju. Tumbang sebelum maju ke gelanggang.
Kesembilan. Zaman Orde Lama maupun
dan Orde Baru diawali dengan kiprah generasi muda. Orde Reformasi mencatat,
generasi muda gamang menerima alih generasi, terninabobokan sebagai elit
parpol, terbuai jabatan dan rayuan rupiah, tergiur kehidupan duniawi. Estafet
kepemimpinan mampet, generasi tua masih doyan kursi negara.
Generasi muda bisa membidani dan
menyemarakkan suatu zaman. Hal yang kontradiktif pun bisa menimpanya, mulai
tersisih dan termakan oleh zaman, menjadi beban sekaligus korban zaman, bahkan
kontribusinya hanya “numpang liwat,” serta figuran zaman.
Generasi muda sarat dengan sederet
status, simbol, atribut, predikat, potensi, dan jati diri, namun bukan jaminan
bisa berakselerasi dengan zaman. Arus zaman bukan pilihan benar salah maupun
baik buruk, harus dilihat dengan kacamata politik. Banyak cara untuk tampil
atraktif, spektakuler dan profesional dalam panggung nasional, namun jika tidak
masuk koridor dan sesuai skenario ranah politik tidak bisa mengendalikan zaman.
Tantangan dan beban zaman antar generasi muda berbeda, tetapi tak
bisa dikatakan zaman sekarang lebih enak daripada zaman sebelumnya, atau
sebaliknya. Dukungan keluarga sampai pemerintah akan menentukan pola interaksi
dengan dinamika zaman.
Semakin besar harapan rakyat pada
generasi muda, khususnya politisi muda, semakin besar kekecewaan yang didapat.
Muda harus diimbangi dengan pengalaman, jam terbang atau nilai jual. Prestasi
disusun dari tingkat lokal, dilakukan secara total. Kiprah pemuda memang tidak
tipikal dan tidak bisa diambil benang merahnya. Seolah “tanpa modal” banyak
pemuda yang berkibar dalam karir, dengan gaya hidup, gaul dan gengsi yang
prestisius. Anomali generasi muda tak terbantahkan.
Budaya instan menyebabkan generasi
muda tidak tahan banting, mudah rapuh dan berganti haluan, gampang
terintervensi, lebih memilih jadi kutu loncat daripada antri. Modal dengkul
penghasilan melebihi peras otak. Modal minimalis dengan raih keuntungan
optimal.
Debut generasi muda layak masuk
orbit, bisa kalah kesempatan dan peluang dengan yang matang karena karbitan. Kalah
pamor dengan mereka yang menang merek dari sono-nya. Kalah langkah
dengan mereka yang sebagai pewaris tahta.
Kesepuluh atau terakhir. Sejak usia
wajib shalat, generasi muda mengalami pengalaman religius yang universal
ataupun individual, rutin, sporadis, sesuai do’a maupun yang tak terduga. Antar
generasi muda berlutut kapalan (ahli shalat) sudah ada benang merah, tinggal
bagaimana mensinergikan potensi ukhuwahnya. Generasi muda diikat dalam satu
pemikiran berdasarkan ketetapan dan keteguhan hati yang sama, jiwa mereka kokoh
dan kebal terhadap berbagai intervensi pemancing perselisihan dan barisan
mereka tidak tersentuh oleh benturan budaya. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar