koruptor dan strata ideologi Nusantara
Bukan gurauan versi warung lesehan
kaki lima, namun atau walupun kadar seruisnya cuma mengundang senyum kecut tapi
susah basi. Puncak karir di perbankan adalah resign. Itu bahan obrolan berbasis
sindiran terhadap kenyataan hidup.
Sebutan ‘gadis bau bensin’ pernah
ngetop di kalangan anak gaul zaman Orde Lama. Disematkan pada ceweq matré
(sebutan ini belum muncul di zaman Orla) atau ceweq yang nempel ke cowok yang
punya motor. Tak kalah aksi, cowoq yang gaya nenteng kunci gembok sepeda, biat
dikira kunci kontak motor.
Di kalangan remaja yang menginjak
dewasa, atau yang sudah terjuan ke dunia kerja. Saat itu kerja di Pertamina
menjadi kebanggaan. Kalau ada yang mengaku kerja di Pertamina, bisa sebagai
jaminan untuk bergaul. Lagi-lagi, saat
itu belum dikenal pergaulan bebas.
Ada suatu babakan, jika si pekerja
yang tampak necis, jika ditanya kantornya di mana. Dengan bangga malah bilang
kalau kerjanya tidak menetap. Si penanya mengira banyak orderan. Usut punya usut,
ternyata sang pekerja dimaksud hanya sebagai penjual minyak tanah eceran. Kantornya memakai gerobag dorong. Zaman jauh
sebelum kompor gas marak di era wapres JK 2004-2009.
Zaman sekarang masih ada pegawai PDAM
yang artinya penjual air minum memakai gerobag dorong. Modal fisik menjadi
syarat utama. Bisa siang malam, sesuai order langgangan rumah tangga.
Lagi-lagi, kisah di éra mégatéga 2014-2019, puncak karir, puncak
prestasi petugas, pelaku, penggila, penggiat partai adalah jika mampu
menyandang predikat koruptor. Entah hasil OTT KPK, terseret kasus, ada
tersangka yang buka kartu dan “menyanyi”, atau sebagai kambing hitam atau versi
bukan untuk konsumsi media massa. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar