Halaman

Jumat, 02 Maret 2018

koruptor dan strata ideologi Nusantara



koruptor dan strata ideologi Nusantara

Bukan gurauan versi warung lesehan kaki lima, namun atau walupun kadar seruisnya cuma mengundang senyum kecut tapi susah basi. Puncak karir di perbankan adalah resign. Itu bahan obrolan berbasis sindiran terhadap kenyataan hidup.

Sebutan ‘gadis bau bensin’ pernah ngetop di kalangan anak gaul zaman Orde Lama. Disematkan pada ceweq matré (sebutan ini belum muncul di zaman Orla) atau ceweq yang nempel ke cowok yang punya motor. Tak kalah aksi, cowoq yang gaya nenteng kunci gembok sepeda, biat dikira kunci kontak motor.

Di kalangan remaja yang menginjak dewasa, atau yang sudah terjuan ke dunia kerja. Saat itu kerja di Pertamina menjadi kebanggaan. Kalau ada yang mengaku kerja di Pertamina, bisa sebagai jaminan untuk bergaul.  Lagi-lagi, saat itu belum dikenal pergaulan bebas.

Ada suatu babakan, jika si pekerja yang tampak necis, jika ditanya kantornya di mana. Dengan bangga malah bilang kalau kerjanya tidak menetap. Si penanya mengira banyak orderan. Usut punya usut, ternyata sang pekerja dimaksud hanya sebagai penjual minyak tanah eceran.  Kantornya memakai gerobag dorong. Zaman jauh sebelum kompor gas marak di era wapres JK 2004-2009.

Zaman sekarang masih ada pegawai PDAM yang artinya penjual air minum memakai gerobag dorong. Modal fisik menjadi syarat utama. Bisa siang malam, sesuai order langgangan rumah tangga.

Lagi-lagi, kisah di éra mégatéga 2014-2019, puncak karir, puncak prestasi petugas, pelaku, penggila, penggiat partai adalah jika mampu menyandang predikat koruptor. Entah hasil OTT KPK, terseret kasus, ada tersangka yang buka kartu dan “menyanyi”, atau sebagai kambing hitam atau versi bukan untuk konsumsi media massa.  [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar