ketika Indonesia mengkhianati Ibu
Pertiwi
Ekonomi sebagai ilmu, malah menjadi
beban bagi penyandang gelar akademisnya. Antara teori dengan praktik, acap kali
tak nyambung. Ekonomi berdasarkan hitungan matematis, hubungan sebab
akibat. Tetapi kehidupan nyata, tak bisa diprediksi, tak dapat diprakirakan.
Bisa direkadaya agar tampak ekonomis.
Kehidupan bisa dirumuskan,
diformulasikan, dijabarkan secara akal, logika dan nalar manusia, setelah babak
akhir kejadian perkara. Hitung mundur. Sebagai fakta yang memperkaya ilmu
ekonomi. Semakin menajamkan pisau ekonomi. Tapi untuk apa.
Akhirnya, ekonomi Indonesia selalu
dihadapkan pada kenyataan bahwa menguatnya Rupiah akibat melemahnya Dolar. Pada
kenyatannya, Dolar yang selalu menguat. Seskali Rupiah naik atau menguat beberapa
poin, kata pengamat ekonomi harian.
Hebatnya lagi, dengan modal
pengetahuan turun temurun tentang ekonomi Pancasila, maka utang luar neger
(uln) semakin menguat alias kuat menanjak. Rakyat tak tahu apakah setiap ganti
periode, ULN semakin menanjak. Rakyat tak paham dengan target ketinggian ULN.
ULN bukan konsumsi rakyat, walau sebagai pihak yang dirugikan. Kemandiran dan
ketahanan ekonomi tergantung sentimen pasar internasional. Kekayaan alam dan
kandungan bumi yang dikuras bangsa asing, sejak zaman Belanda maupun era Orde
Lama. Masih berlanjut dengan aman dan damai.
Masalah ekonomi, bukan masalah
pribadi keluarga, internal rumah tangga. Orang terkayapun selalu terbelit
dengan masalah ekonomi. Di Indonesia, mati-matian manusia politik masuk jajaran
penyelenggara negara karena masalah ekonomi.
Bukan asupan gizi, tetapi masalah
dan beban ekonomi yang menentukan kecerdasan anak bangsa. Bahkan mempengaruhi
sikap cerdas bangsa. Bangsa yang cerdas karena mampu mengakali masa depannya.
Soal kejadian atau dampaknya, menjadi tanggung jawab generasi pewaris masa
depan. Ini namanya estafet masalah.
Untuk praktik politik, masalah
cerdas atau gelar akademik, hanya sebatas syarat administrasi. Banyak orang
berusaha agar tampak cerdas. Penampilan fisik sampai gaya tutur kata, tindak
tutur; pola buka tutup mulut; metode ucap dan cuap. Pokoknya anak bangsa
pribumi tak pernah mati gaya. Gaya alami maupun gaya-gayaan (imitasi, polesan,
kw2, artifisial, manipulasi, setting, hafalan, modus).
Ekonomi Pancasila membuat gerah dan
alergi penguasa. Garam saja impor. Apalagi asupan ideologi. Pancasila sebagai
ideologi nasional, dikemas ulang dalam bentuk yang mengkuti zaman, sesuai
standar terkini. Dirasa masih belum bisa memenuhi kebuthan dalam negeri.
Untung kata wong Jawa. Nasib politik
Pancasila tak seperti menguatnya Rupiah. Di laga tandang, politik Pancasila
nyaris garing. Istilah politiknya, kurang mempunyai nilai tawar. Nilai tawarnya
mudah ditawar. Di laga kandang, kawanan pelaku, petugas, penggiat, penggila
maupun pengusaha politik lokal, tampil dengan garang. Pilih tanding. Tidak asal
main gebug. Dadu politik penguasa 2014-2019 dengan asas gebug dulu rembug
kemudian. Menggunakan ramuan ajaib bertajuk ujaran kebencian vs ujaran
kebohongan. Dua ujaran ini berlomba, saling adu nyali.
Jadi, nyatanya ekonomi
dan politik, sebagai satu kesatuan. Ditambah dengan hukum dan aneka ilmu.
Tergantung tangan siapa yang memainkan. Wallahu a’lam bisshawab. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar