Halaman

Selasa, 13 Maret 2018

ketika Indonesia mengkhianati Ibu Pertiwi



ketika Indonesia mengkhianati Ibu Pertiwi

Ekonomi sebagai ilmu, malah menjadi beban bagi penyandang gelar akademisnya. Antara teori dengan praktik, acap kali tak nyambung. Ekonomi berdasarkan hitungan matematis, hubungan sebab akibat. Tetapi kehidupan nyata, tak bisa diprediksi, tak dapat diprakirakan. Bisa direkadaya agar tampak ekonomis.

Kehidupan bisa dirumuskan, diformulasikan, dijabarkan secara akal, logika dan nalar manusia, setelah babak akhir kejadian perkara. Hitung mundur. Sebagai fakta yang memperkaya ilmu ekonomi. Semakin menajamkan pisau ekonomi. Tapi untuk apa.

Akhirnya, ekonomi Indonesia selalu dihadapkan pada kenyataan bahwa menguatnya Rupiah akibat melemahnya Dolar. Pada kenyatannya, Dolar yang selalu menguat. Seskali Rupiah naik atau menguat beberapa poin, kata pengamat ekonomi harian.

Hebatnya lagi, dengan modal pengetahuan turun temurun tentang ekonomi Pancasila, maka utang luar neger (uln) semakin menguat alias kuat menanjak. Rakyat tak tahu apakah setiap ganti periode, ULN semakin menanjak. Rakyat tak paham dengan target ketinggian ULN. ULN bukan konsumsi rakyat, walau sebagai pihak yang dirugikan. Kemandiran dan ketahanan ekonomi tergantung sentimen pasar internasional. Kekayaan alam dan kandungan bumi yang dikuras bangsa asing, sejak zaman Belanda maupun era Orde Lama. Masih berlanjut dengan aman dan damai.

Masalah ekonomi, bukan masalah pribadi keluarga, internal rumah tangga. Orang terkayapun selalu terbelit dengan masalah ekonomi. Di Indonesia, mati-matian manusia politik masuk jajaran penyelenggara negara karena masalah ekonomi.

Bukan asupan gizi, tetapi masalah dan beban ekonomi yang menentukan kecerdasan anak bangsa. Bahkan mempengaruhi sikap cerdas bangsa. Bangsa yang cerdas karena mampu mengakali masa depannya. Soal kejadian atau dampaknya, menjadi tanggung jawab generasi pewaris masa depan. Ini namanya estafet masalah.

Untuk praktik politik, masalah cerdas atau gelar akademik, hanya sebatas syarat administrasi. Banyak orang berusaha agar tampak cerdas. Penampilan fisik sampai gaya tutur kata, tindak tutur; pola buka tutup mulut; metode ucap dan cuap. Pokoknya anak bangsa pribumi tak pernah mati gaya. Gaya alami maupun gaya-gayaan (imitasi, polesan, kw2, artifisial, manipulasi, setting, hafalan, modus).

Ekonomi Pancasila membuat gerah dan alergi penguasa. Garam saja impor. Apalagi asupan ideologi. Pancasila sebagai ideologi nasional, dikemas ulang dalam bentuk yang mengkuti zaman, sesuai standar terkini. Dirasa masih belum bisa memenuhi kebuthan dalam negeri.

Untung kata wong Jawa. Nasib politik Pancasila tak seperti menguatnya Rupiah. Di laga tandang, politik Pancasila nyaris garing. Istilah politiknya, kurang mempunyai nilai tawar. Nilai tawarnya mudah ditawar. Di laga kandang, kawanan pelaku, petugas, penggiat, penggila maupun pengusaha politik lokal, tampil dengan garang. Pilih tanding. Tidak asal main gebug. Dadu politik penguasa 2014-2019 dengan asas gebug dulu rembug kemudian. Menggunakan ramuan ajaib bertajuk ujaran kebencian vs ujaran kebohongan. Dua ujaran ini berlomba, saling adu nyali.

Jadi, nyatanya ekonomi dan politik, sebagai satu kesatuan. Ditambah dengan hukum dan aneka ilmu. Tergantung tangan siapa yang memainkan. Wallahu a’lam bisshawab. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar