Gila Hormat dan Format Gila
Misteri, mistis, aneh sedikit nylenèh
dan sedikit drastis, ironis binti miris hukum keseimbangan yang praktik di
Nusantara. Sebagai hukum alam maupun hukum karakter penghuninya, terutama
pembaca. Sifat ekstrem sampai saling memperkuat, sinerji.
Bencana alam akibat kerakusan
manusia saat mewujudkan sifat rakus. Bencana politik silih berganti hadir
akibat manusia rakus kuasa yang tak pernah merasa kenyang. Alam dengan telaten
selalu memberi peringatan dini, vonis ringan maupun sekedar tegur sapa.
Penyebab utama mengapa bangsa asing
mampu menjajah bangsa Indonesia dalam hitungan abad. Salah banyaknya karena
wong Nusantara bukan karena sekedar kalau dipangku, mati. Itu kan huruf Jawa, ho
no co ro ko.
Gemar disanjung, suka dijunjung, hobi
dipuja-puji. Terlena dengan rayuan penjajah dengan mendendangkan lagu ninabobo.
Diberi upeti roti dan keju, sudah merasa lebih barat ketimbang si penjajah,
Belanda. Diberi nikmat dunia, serta merta akan loyal, patuh, taat, setia dan
siap berjibaku menjaga wibawa dan nama baik sang majikan.
Si zaman jalan bertingkat, tak heran
jika dengan pola hormat yang multimanfaat , multiguna maupun multidampak. Aroma
irama gaya penjajah masih lanjut. Semua persyaratan terpenuhi, hanya beda niat.
Beda pada ada maunya.
Ke bawah, terjadilah praktik
intimidasi. Yang pasal hukumnya tak tersurat maupun tersirat. Tapi ada dan
selalu ada. Dalam berbagai bentuk dan gaya. Pokoknya penuh gaya untuk menjaga
wibawa dan nama baik.
Rakyat menjadi korban stigma pihak
lain dengan tujuan politis maupu ekonomis. Masyarakat kurang beruntung sebagai
bentuk penghalusan makna masyarakat miskin, rakyat gembel, penduduk haram. Tak mampu
melaju dengan pembangunan, maka peran dan posisi rakyat masuk kategori permanent
underclass. Terkait dengan pesta demokrasi, dinamakan uneducated people,
tetapi dirangkul karena suara hak pilihnya.
Bersyukur, dalam tatanan berbangsa
dan bernegara, kelompok papan bawah tidak disebut sebagai pihak yang tidak
diharapkan keberadaannya, kehadirannya. Karena bisa dijadikan “kambing hitam”
di setiap saat, waktu dan kondisi. Tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
Jangan heran, ternyata arus bawah
ini bisa dimanfaatkan dengan baik dan benar. Masih ingatkah kawan dengan tema nabok
nyilih tangané wong édan. Di zaman Orde Baru, preman jalanan direkrut oleh
Sekber Golkar untuk menggalang massa. Sekaligus menakuti-nakuti pihak yang
berseberangan dengan pemerintah.
Bang gali (gabungan anak liar) malah
njarag, ngranyak, nglunjak atau senjata makan tuan, menjadi bumerang. Diwènèhi
ati ngrogoh rempela. Berhadaplah Bang Gali dengan Om Petrus (penembak
misterius).
Ke samping, terjadilah hubungan
intim. Maksudnya sepakat untuk tidak sepakat. Masuk lema koalisi, kolaborasi,
kerjasama bagi hasil, kongkalingkong. Wong Jawa tahu betul dengan paribasan “Si
Gèdhèg lan Si Anthuk” = wong loro kang wis padha kangsèn tumindak ala bebarengan. Bukan édan koq iso
bareng. Ini politik pak dé.
Apapun kejadian yang seolah secara
norma ‘wajib’ dihindari, bukan sekedar tidak masuk akal, bukan sekedar karena ora
ilok, malah bisa terjadi secara nyata, terukur dan menerus di panggung
politik.
In sya Allah, dengan ridho-Nya
semoga tahun politik 2018 tidak terjadi super mégatéga maupun multimégatéga.
Soal masih tersisa kuota pagar makan tanaman,
stok atau cadangan rumput tetangga tampak lebih ranjum, bernas dan
memanggil, utawa surplus biro jasa keamanan malah menjadi biang segala biang,
itu masih dalam batas wajar.
Ke atas, bukan meludah ke atas
atau acungkan tinju kita. Protes. Unjuk rasa, unjuk raga, unjuk gigi yang jelas
bukan pamer bego. Di acara temu warganegara, yang namanya pihak atas kalau tak
dipersilahkan duduk di barisan paling depan, akan tersinggung tujuh turunan. Tetapi
kalau dipersilahkan ke depan, malah pilih duduk di belakang. Berharap biar
dikira dekat dengan rakyat, merakyat.
Pokoknya, modal jilat atau pola
sanjung dengan segala cara. Bak sekali lempar batu 2@3 buah rontok. Salah. Dengan
memberi penghormatan berharap balas yang setimpal. Apalagi memberi upeti. Walau
bak “nguyahi segara” alias menggarami lautan. Nyogok atasan. Agar pemberian
bisa awet, pakai modus memberi dengan menganugerahi gelar kehormatan, semacam
gelar doctor honoris causa. Skenario ini memang berdampak politis secara
nyata, terukur, masif. Terkadang watak bangsa, mau ngécé, ngenyèk dengan
cara halus.
Jadi, selama politik
menghalalkan segala cara. Kejadian perkara tanpa pasal tuntutan, bisa terjadi. Bahkan
di luar nalar pelakunya. Semua serba otomatis, tanpa kendali pihak luar, bebas
rekayasa. Wallahu a’lam bisshawab. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar