Halaman

Selasa, 13 Maret 2018

Gila Hormat dan Format Gila



Gila Hormat dan Format Gila

Misteri, mistis, aneh sedikit nylenèh dan sedikit drastis, ironis binti miris hukum keseimbangan yang praktik di Nusantara. Sebagai hukum alam maupun hukum karakter penghuninya, terutama pembaca. Sifat ekstrem sampai saling memperkuat, sinerji.

Bencana alam akibat kerakusan manusia saat mewujudkan sifat rakus. Bencana politik silih berganti hadir akibat manusia rakus kuasa yang tak pernah merasa kenyang. Alam dengan telaten selalu memberi peringatan dini, vonis ringan maupun sekedar tegur sapa.

Penyebab utama mengapa bangsa asing mampu menjajah bangsa Indonesia dalam hitungan abad. Salah banyaknya karena wong Nusantara bukan karena sekedar kalau dipangku, mati. Itu kan huruf Jawa, ho no co ro ko.

Gemar disanjung, suka dijunjung, hobi dipuja-puji. Terlena dengan rayuan penjajah dengan mendendangkan lagu ninabobo. Diberi upeti roti dan keju, sudah merasa lebih barat ketimbang si penjajah, Belanda. Diberi nikmat dunia, serta merta akan loyal, patuh, taat, setia dan siap berjibaku menjaga wibawa dan nama baik sang majikan.

Si zaman jalan bertingkat, tak heran jika dengan pola hormat yang multimanfaat , multiguna maupun multidampak. Aroma irama gaya penjajah masih lanjut. Semua persyaratan terpenuhi, hanya beda niat. Beda pada ada maunya.

Ke bawah, terjadilah praktik intimidasi. Yang pasal hukumnya tak tersurat maupun tersirat. Tapi ada dan selalu ada. Dalam berbagai bentuk dan gaya. Pokoknya penuh gaya untuk menjaga wibawa dan nama baik.

Rakyat menjadi korban stigma pihak lain dengan tujuan politis maupu ekonomis. Masyarakat kurang beruntung sebagai bentuk penghalusan makna masyarakat miskin, rakyat gembel, penduduk haram. Tak mampu melaju dengan pembangunan, maka peran dan posisi rakyat masuk kategori permanent underclass. Terkait dengan pesta demokrasi, dinamakan uneducated people, tetapi dirangkul karena suara hak pilihnya.

Bersyukur, dalam tatanan berbangsa dan bernegara, kelompok papan bawah tidak disebut sebagai pihak yang tidak diharapkan keberadaannya, kehadirannya. Karena bisa dijadikan “kambing hitam” di setiap saat, waktu dan kondisi. Tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.

Jangan heran, ternyata arus bawah ini bisa dimanfaatkan dengan baik dan benar. Masih ingatkah kawan dengan tema nabok nyilih tangané wong édan. Di zaman Orde Baru, preman jalanan direkrut oleh Sekber Golkar untuk menggalang massa. Sekaligus menakuti-nakuti pihak yang berseberangan dengan pemerintah.

Bang gali (gabungan anak liar) malah njarag, ngranyak, nglunjak atau senjata makan tuan, menjadi bumerang. Diwènèhi ati ngrogoh rempela. Berhadaplah Bang Gali dengan Om Petrus (penembak misterius).

Ke samping, terjadilah hubungan intim. Maksudnya sepakat untuk tidak sepakat. Masuk lema koalisi, kolaborasi, kerjasama bagi hasil, kongkalingkong. Wong Jawa tahu betul dengan paribasan “Si Gèdhèg lan Si Anthuk” = wong loro kang wis padha kangsèn tumindak ala bebarengan. Bukan édan koq iso bareng. Ini politik pak dé.

Apapun kejadian yang seolah secara norma ‘wajib’ dihindari, bukan sekedar tidak masuk akal, bukan sekedar karena ora ilok, malah bisa terjadi secara nyata, terukur dan menerus di panggung politik.

In sya Allah, dengan ridho-Nya semoga tahun politik 2018 tidak terjadi super mégatéga maupun multimégatéga. Soal masih tersisa kuota pagar makan tanaman,  stok atau cadangan rumput tetangga tampak lebih ranjum, bernas dan memanggil, utawa surplus biro jasa keamanan malah menjadi biang segala biang, itu masih dalam batas wajar.

Ke atas, bukan meludah ke atas atau acungkan tinju kita. Protes. Unjuk rasa, unjuk raga, unjuk gigi yang jelas bukan pamer bego. Di acara temu warganegara, yang namanya pihak atas kalau tak dipersilahkan duduk di barisan paling depan, akan tersinggung tujuh turunan. Tetapi kalau dipersilahkan ke depan, malah pilih duduk di belakang. Berharap biar dikira dekat dengan rakyat, merakyat.

Pokoknya, modal jilat atau pola sanjung dengan segala cara. Bak sekali lempar batu 2@3 buah rontok. Salah. Dengan memberi penghormatan berharap balas yang setimpal. Apalagi memberi upeti. Walau bak “nguyahi segara” alias menggarami lautan. Nyogok atasan. Agar pemberian bisa awet, pakai modus memberi dengan menganugerahi gelar kehormatan, semacam gelar doctor honoris causa. Skenario ini memang berdampak politis secara nyata, terukur, masif. Terkadang watak bangsa, mau ngécé, ngenyèk dengan cara halus.

Jadi, selama politik menghalalkan segala cara. Kejadian perkara tanpa pasal tuntutan, bisa terjadi. Bahkan di luar nalar pelakunya. Semua serba otomatis, tanpa kendali pihak luar, bebas rekayasa. Wallahu a’lam bisshawab. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar